Kisah Getir Slamet Sang Seniman Ditolak Warga karena Nonmuslim

Seniman Slamet Jumiarto (tengah), warga nonmuslim yang ditolak oleh warga ketika pindah mukim di Kabupaten Bantul, saat bersama aparat Kepolisian usai mengadukan masalahnya pada Selasa, 2 April 2019.
Sumber :
  • VIVA/Cahyo Edi

VIVA – Seniman Slamet Jumiarto (42 tahun) tak pernah menyangka keputusannya mengontrak rumah milik Suroyo di Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, akhir Maret lalu, menjadi masalah.

Pengurus Padukuhan Karet menolak kehadiran Slamet bersama istri dan kedua anak mereka karena keluarga sang pelukis menganut keyakinan agama berbeda dengan mayoritas warga di sana.

Berawal dari mencari rumah kontrakan melalui media sosial, Slamet menemukan sebuah rumah yang disewakan oleh Suroyo lewat perantara bernama Bowo. Sewa rumah sederhana dengan satu kamar tidur utama dan lantai berlapis semen tanpa keramik itu awalnya dipatok Rp5 juta oleh pemiliknya. Setelah tawar-menawar, Slamet dan pemilik rumah bersepakat Rp4 juta untuk setahun.

Sebelum mencapai kata sepakat, dalam proses negosiasi, Slamet telah menceritakan latar belakangnya sebaga nonmuslim. Saat itu, pemilik rumah mengaku tak memermasalahkannya.

Pindah dan ditolak

Pada Jumat, 29 Maret 2019, Slamet dibantu oleh istri dan kedua anaknya pindah ke rumah itu. Dua hari berikutnya, Slamet sebagai warga baru pun menemui ketua RT setempat untuk memberitahukan kepindahannya dan izin bermukim di sana.

Saat itu, Slamet membawa KTP, Kartu Keluarga (KK), dan surat nikahnya sebagai syarat administratif izin tinggal. Saat menyerahkan surat-surat itulah penolakan terjadi.

"Saat saya serahkan data kependudukan saya, Ketua RT melihat [identitas keyakinan] agama saya. Saat itu Ketua RT bilang tak bisa mengizinkan saya menetap sebagai warga. Ketua RT bilang ada aturan menolak pendatang yang nonmuslim," ujar Slamet saat ditemui di rumah kontrakannya, Selasa, 2 April 2019.

Aturan yang dimaksud oleh Ketua RT itu adalah aturan di Padukuhan Karet bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015. Aturan itu disahkan pada 19 Oktober 2015 dengan ditandatangani oleh Ketua Dusun Karet, Iswanto, dan Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi. 

Dalam aturan itu tercantum bahwa pendatang di Padukuhan Karet haruslah muslim dan warga keberatan jika ada warga nonmuslim yang menetap sebagai pendatang baru.

Mengadu

Keberatan dengan aturan itu, Slamet menemui Ketua Kampung dan lagi-lagi mendapatkan penolakan dengan alasan aturan khusus di Padukuhan Karet. Slamet kemudian mengadukan masalahnya kepada Sekretaris Gubernur DI Yogyakarta. Pengaduan pun diteruskan kepada Sekda DI Yogyakarta dan Sekda Kabupaten Bantul.

Pada Senin pagi, 1 April, Sekda Kabupaten Bantul mempertemukan Slamet dengan Kepala Desa Pleret, Kepala Padukuhan Karet, dan Ketua RT 08. Mediasi tak membuahkan hasil dan kemudian dilanjutkan pada malam harinya.

Dalam mediasi yang digelar malam itu, beberapa sesepuh mengaku tak keberatan dengan Slamet. Namun ada pula yang merasa keberatan dengan Slamet yang ingin mengontrak rumah di wilayahnya.

Sebagai jalan tengah, muncullah usulan bahwa Slamet dibolehkan bermukim selama enam bulan di Padukuhan Karet, dan enam bulan sisanya akan dikembalikan dalam bentuk uang pengganti.

Pria asal Semarang itu menolak usulan tersebut. Dia memilih mengalah dan siap pindah dari Padukuhan Karet dengan sejumlah syarat. Selain uang kontraknya dikembalikan, Slamet meminta agar aturan Padukuhan Karet yang dianggapnya diskriminatif itu harus dihapus.

“Saya mengalah asalkan surat [aturan] mereka direvisi karena, bagi saya, itu bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Aturan itu mengharuskan supaya warga pendatang yang ngontrak atau tinggal harus beragama Islam itu tertulis di dalam di surat peraturan. Itu, kan, enggak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945," ujarnya. (mus)