Disebut Prabowo 'Terlalu Lemah', Seberapa Kuat Sistem Pertahanan RI?
- bbc
Pada debat calon presiden (30/03), Prabowo Subianto mengatakan sistem pertahanan Indonesia terlalu lemah, tapi pengamat militer mempertanyakan klaim itu dan mengatakan pembenahan sistem pertahanan Indonesia sudah mengarah ke jalan yang benar.
Dalam debat keempat itu Prabowo menyebut bahwa pertahanan Indonesia terlalu lemah dan jauh dari yang diharapkan karena keuangan Indonesia yang lemah.
Pengamat militer Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, mempertanyakan ukuran lemah yang digunakan Prabowo karena dalam militer, ujarnya, banyak indikator yang harus diperhatikan, seperti jumlah anggaran, jumlah tentara, serta persenjataan baru.
Ia mengatakan aspek-aspek tersebut masih harus terus diperbaiki. Namun sejak lima tahun belakangan, bahkan sejak era pemerintahan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), beberapa langkah perbaikan sudah dilakukan.
"Ya belum sempurna selevel negara-negara besar di kawasan, seperti Australia, India, Cina, tapi saya rasa kita sudah cukup mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki," kata Evan.
"Dibilang lemah 100% jelas nggak... Kita sudah berada di arah yang benar untuk memperbaikinya."
Apa pertahanan Indonesia bisa disebut rapuh?
Evan menyebut banyak faktor yang harus dilihat untuk menentukan apakah pertahanan Indonesia bisa disebut rapuh.
Oleh karena Indonesia tidak menjalankan operasi militer yang besar sejak operasi di Aceh, Evan mengatakan belum bisa mengukur efektivitas tempur pasukan Indonesia.
Namun, melihat dari indikator pertahanan dalam lingkup sehari-hari, Evan mengatakan sudah terjadi pengurangan dari segi pelanggaran di perairan Indonesia, baik yang dilakukan oleh kapal nelayan atau militer asing. Ia juga menyebut jumlah pelanggaran di ruang udara juga berkurang.
Tambahnya, performa non-tempur pasukan Indonesia bisa disebut efektif, seperti dalam UN Peace Keeping Mission dan penanganan bencana, meski banyak hal masih bisa dibenahi.
"Saya rasa kalau ditanya apa kita siap hadapi ancaman pertahanan keseharian, kita siap," ujarnya.
Sementara itu, pengamat militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin, menyebut rencana pertahanan Indonesia menekankan pada strategi pertahanan internal dengan gerilya.
Hal itu, kata Haripin, dikarenakan Indonesia sudah menyadari keterbatasannya di bidang pertahanan udara dan laut.
"Sebetulnya kita tidak punya instrumen deterrent yang memadai, tapi kalau kita melihat strategi gerilya, bisa dibilang kita bisa bertahan lama," ujar Haripin.
Apakah Indonesia berada di bawah ancaman?
Pengamat militer CSIS, Evan Laksmana, mengatakan ancaman keamanan di Indonesia memang selalu rumit karena terdiri dari ancaman dalam negeri maupun luar negeri.
Dari segi geografis, tambahnya, Indonesia berada dalam persimpangan geopolitik Cina dan AS dalam konflik Laut Cina Selatan.
Selain itu, kata Evan, Indonesia juga menghadapi ancaman dalam bentuk penangkapan ikan ilegal, pembajakan kapal, hingga ancaman di bidang siber.
Namun, terkait ancaman konvensional, di mana negara lain berupaya untuk menyerang dan menginvasi negara lain, Evan mengatakan ia belum melihat potensi itu.
"Saya rasa nggak dalam waktu dekat," kata Evan.
Pada debat lalu, Joko Widodo mengatakan dari informasi yang ia terima, ancaman belum terlihat.
"Saya meyakini, dari informasi intelijen strategis yang masuk kepada saya mengatakan, 20 tahun ke depan, invasi negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada," ujar Jokowi.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan, Lena Maryana, anggota fraksi PPP, juga membantah klaim Prabowo.
Ia mengatakan potensi gangguan pertahanan memang ada, seperti di kawasan Indo-Pasifik. Tapi pemerintah, ujarnya, siap menghadapi ancaman itu.
"Kita siap dan negara kita dikenal sebagai negara yang sangat besar di kawasa Indo-South Pasific yang tidak bisa diremehkan. Di samping penguatan diplomasi luar negeri, kesiapan alutsista juga ditingkatkan," ujarnya.
Ia menambahkan kualitas alutsista Indonesia tidak tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Haruskah Indonesia menambah alutsista baru?
Dalam debat itu, Prabowo juga mengkritik sistem alusista Indonesia yang kurang canggih. Evan mengatakan kritik Prabowo memang ada benarnya mengingat dalam dunia militer, alusista memiliki kelas yang berbeda-beda.
Ia juga mengatakan masih banyak peralatan yang diproduksi dari tahun 1960an hingga 1970an, tapi secara bertahap alat-alat itu diremajakan.
"Kita nggak bisa dibilang seperti Singapura dan Cina yang selalu di ujung terdepan untuk teknologi terbaru dan tercanggih. Kembali ke pertanyaan awal, persoalan kita harus mengikuti perkembangan terakhir juga harus perhatikan aspek fiskal dan anggaran. Dengan segala keterbatasan kita, saya rasa kita sudah lumayan," kata Evan.
Pengamat militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin, mengatakan Indonesia perlu menambah pengadaan alutsista di bidang angkatan udara dan angkatan laut, yang kini masih sangat minim.
Hal itu, kata Haripin, harus dilakukan untuk memenuhi janji Jokowi membuat Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Apa anggaran militer harus ditambah?
Tahun ini, anggaran pertahanan ditetapkan sebesar Rp108,4 triliun. Angka ini, yang kurang dari 1?ri Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia dikritik oleh Prabowo.
Prabowo membandingkan dengan Singapura yang anggaran pertahanannya mencapai sekitar 3?ri PDB mereka.
Haripin mengatakan sejak era reformasi, anggaran pertahanan Indonesia sudah meningkat lebih dari 300%.
"Masalahnya tidak terletak pada jumlah anggaran per-PDB, tapi pada alokasi anggaran," kata Haripin.
Dia mengatakan saat ini, 60% hingga 70% anggaran pertahanan dihabiskan untuk keperluan pegawai seperti pemberian gaji dan tunjangan. Struktur komando teritorial yang gemuk, katanya, juga menguras anggaran ini.
Sementara, kata Haripin, hanya sekitar 30% anggaran yang digunakan untuk belanja modal atau melakukan pengadaan alusista. Hal ini lah yang menurut Haripin harus diubah.
Ia mengatakan, penambahan anggaran pertahan tiap tahun tidak akan bermakna jika alokasi anggaran tidak dibenahi.