Rizal Ramli Tantang Dua Calon Presiden Berpihak pada Bumi Putera
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Ekonom senior, Rizal Ramli mendorong penerapan kebijakan pro bumi putera atau affirmative policy. Hal ini dinilai, bisa memperbaiki ketidakadilan, ketimpangan, dan kecemburuan sosial.
Rizal mempertanyakan kepada dua calon presiden yang tengah bertarung, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Siapakah yang siap menerapkan kebijakan pro terhadap pengusaha pribumi tersebut?
"Kami bertanya dan berharap, adanya jawaban tegas dari kedua capres sebelum dilaksanakannya Pilpres pada 17 April 2019 nanti. Kami sangat ingin bertanya kepada kedua Capres, apakah mereka punya komitmen pada visi pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi dan keadilan, sehingga bermanfaat untuk kemajuan dan kesatuan Indonesia," kata Rizal di Jakarta, Jumat 29 Maret 2019.
Eks Menko Kemaritiman ini menjelaskan, memang tidak pernah dibahas secara terbuka adanya ketimpangan antara bumi putra dengan kelompok bisnis yang lebih mapan.
Namun, jika ketimpangan itu terus dibiarkan, cepat atau lambat akan terjadi kecemburuan sosial yang mendalam dan bisa berujung menjadi konflik dan kerusuhan sosial.
"Di masa lalu, soal-soal yang sering memicu kerusuhan sosial lebih besar seperti di Solo tahun 1980-an, Situbondo Jawa Timur 1996, dan peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Apakah, kita akan terus membiarkan kecemburuan sosial dan ekonomi itu terus berlangsung?" ungkapnya.
Rizal menuturkan, memang pada masa Habibie muncul instruksi presiden (Inpres) pelarangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, karena sering dianggap sebagai ungkapan rasis. Ia menilai, sudah waktunya membahas dan mengurangi perbedaan-perbedaan itu secara rasional dan bertahap.
"Pembangunan, jika hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, sering menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Adalah penting dan strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, sehingga menciptakan harmoni yang langgeng di antara berbagai latar belakang sosial dan kelompok etnis di Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, dijelaskan Rizal, dalam sejarahnya, affirmative policy dimulai dari Amerika Serikat, untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi kelompok minoritas dan perempuan, misal untuk warga kulit hitam dan perempuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Affirmative action policy untuk mayoritas dimulai di Malaysia, di bawah Tun Hussein Onn, sehabis kerusuhan sosial di Malaysia pada 1969.
"Affirmative Policy tersebut bisa dirumuskan dalam bentuk akses terhadap kredit, proyek-proyek pembangunan pemerintah, integrasi sosial dan profesional diantara kelompok di Indonesia dan lainnya," katanya. (asp)