Usai Ritual Nyepi di Lereng Gunung Lawu, Warga Beda Agama Silaturahmi
- bbc
Puluhan umat Hindu menjalankan ritual Nyepi dengan khusyuk di di Dusun Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, pada Kamis (07/03).
Mereka berkumpul di Pura Jonggol Shanti Loka yang bangunannya terletak paling ujung di kaki Gunung Lawu.
Saat wartawan Fajar Sodiq bertandang ke sana, bangunan tempat ibadah umat Hindu itu tampak ditutupi terpal serta pintu yang terkunci.
Ketika para umat Hindu beribadah di Pura, mereka meninggalkan kediaman serta harta benda tanpa beban.
Pasalnya lingkungan kampung dijaga oleh para warga yang beragama selain Hindu, seperti Islam dan Kristen.
Tanpa diminta mereka bahu membahu berjaga di jalan menuju kampung Jlono untuk melarang bagi orang di luar kampung tersebut untuk masuk dengan kendaraan bermotor.
Selain itu, mereka berpatroli keliling ke rumah-rumah yang kosong karena ditinggal pemiliknya ke Pura.
Sebagai gambaran, ada sebanyak 50 kepala keluarga di kampung itu. Dari jumlah itu, setengahnya merupakan umat Hindu. Adapun sisanya beragama Islam dan Kristen.
Salah satu tokoh masyarakat Dusun Jlono, Andi Sutarto, mengatakan toleransi antar umat beragama di Dusun Jlono telah menjadi tradisi secara turun temurun. Alhasil kampung itu penuh dengan kemajemukan dan keberagaman antarumat beragama.
"Sekali pun kami dari umat non-Hindu, tapi kami juga ikut menjaga ketenteraman agar warga Hindu di sini merasa khidmat dan nyaman saat merayakan Nyepi," kata dia di Pos Kamling Dusun Jlono, Kamis (07/03).
Wujud kepedulian tersebut ditunjukkan dengan ikut bertanggung jawab menjaga situasi di kampung tersebut supaya kondusif.
Bahkan, kampung Jlono yang biasanya terbuka untuk wisatawan yang ingin berwisata petik buah pun ditiadakan pada Hari Nyepi ini.
"Untuk objek wisata khusus di dalam kampung memang untuk sementara kami tiadakan dalam waktu 1X24 jam. Tapi kalau di luar kampung masih ada acara karena kita juga peduli dengan wisatawan yang berliburan di sini," ujar Andi.
`Ikut mematikan lampu`
Sementara itu, Citro Suwarso Ketua RW 15 RT 01 Jlono, Desa Kemuning, mengatakan meskipun warga Jlono terdiri dari berbagai agama, namun dalam kehidupan sehari-hari tetap mengutamakan kerukunan dan saling bantu.
Bahkan, saat membangun tempat ibadah umat Hindu, warga yang beragama Islam maupun Kristen juga ikut bergotong royong ikut membantunya.
"Begitu dengan membangun masjid, warga yang beragama Hindu juga ikut membantu. Meskipun berbeda tapi kita hidup bergotong royong karena kebersamaan inilah yang diutamakan," ungkapnya.
Sikap toleransi itu juga terlihat seperti pada saat perayaan Nyepi. Menurut dia, bagi umat Hindu selama melakukan catur brata, salah satunya tidak menyalakan lampu.
Pantangan itu membuat warga yang beragama selain Hindu pun melakukan hal yang sama, mereka mematikan lampu terutama yang ada di depan rumah.
"Kalau lampu jalan itu pasti dimatikan semua. Sedangkan yang di dalam rumah itu juga dimatikan tapi kalau pun ada yang nyala di bagian kamar. Itu pun bagi warga yang punya anak kecil," jelas Citro.
Menurut Citro, pelaksanaan Nyepi dimulai pada hari ini pukul 06.00 hingga pukul 06.00 WIB keesokan harinya.
Keterangan itu diamini Pemuka Pura Jonggol Shantika Loka, Gimanti.
"Satu lingkungan itu ikut mendukung tidak menyalakan lampu selama 24 jam, namun sebatas lampu di depan rumah atau di jalan, tapi kalu sebatas menyalakan lampu di dalam rumah itu bagi yang punya anak kecil," ujar dia.
Silaturahim seusai Nyepi
Seperti halnya perayaan Idul Fitri, setelah prosesi Nyepi selesai, warga yang beragama Hindu akan melakukan silaturahim ke rumah-rumah penduduk dan tidak memandang apa agamanya.
"Semua warga baik beragama Islam maupun Kristen dikunjungi oleh saudara kita yang beragama Hindu untuk saling memaafkan. Saat Lebaran juga begitu, mereka yang beragama Hindu juga mengunjungi rumah-rumah untuk silaturahmi," kata dia.
Adanya kehidupan yang penuh dengan kerukunan antar umat beragama itu menyebabkan dusun tersebut didaulat menjadi Kampung Toleransi sejak tujuh tahun silam.
Sebuah spanduk bertuliskan `Jlono Kampung Adat dan Budaya, Berbeda Itu Indah` terpasang di jalan masuk kampung tersebut.