Soal Larangan Nonmuslim Disebut Kafir, Simak Penjelasan Buya Yahya
VIVA – Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 memutuskan beberapa persoalan bangsa. Salah satu yang memantik kontroversi adalah larangan penggunaan istilah kafir pada orang di luar Islam.
Alasannya, dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menegaskan, istilah kafir dan nonmuslim sebagai konteks yang berbeda merujuk pada zaman Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Lalu, bagaimana penjelasan tentang istilah kafir?
Pengasuh LPD Al-Bahjah, Yahya Zainul Ma'arif, atau biasa disapa Buya Yahya, menjelaskan kafir adalah penyebutan bagi orang yang tidak mengakui Allah subhanahu wa ta'ala, Islam dan Nabi Muhammad. Kata Buya, soal ini sudah tegas dijelaskan dalam Alquran dan hadis.
"Pertama, bahwa orang Yahudi dan Nasrani, nonmuslim itu dari segi bahasa. Bahasa Arabnya, orang Yahudi dan Nasrani itu disebut dalam Alquran, kafir. Mereka tidak boleh disebut kafir, karena Yahudi, Nasrani. Ini kalimat salah. Justru karena mereka Yahudi dan Nasrani, mereka itu kafir," ujar Buya Yahya, dalam penjelasannya di channel Youtube.
"Saudaraku yang Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, tolong dengar, ini ada kalimat istimewa buat anda. Kalau anda dengar sampai tuntas, jangan anda putus. Jadi sangat salah kalau mereka tidak bisa kita sebut kafir karena mereka ahli kitab, sangat salah. Karena apa? Alquran sendiri yang menjelaskan. Ayat yang anak kecil sudah hafal, lamyakunil lazina kafaru, tidak mereka orang-orang kafir. Min ahlil kitab. Ahli kitab dimasukkan. Wal musyrikin, jadi orang kafir ada ahli kitab. Ada orang musyrik, namanya kafaru, orang-orang kafir. Jadi kalau mereka tidak boleh disebut kafir, sangat salah. Karena dalam Alquran, istilah kafir sudah ada," kata Buya.
Video penjelasan Buya Yahya yang diunggah Al-Bahjah TV dipublikasikan pada 2 Maret 2019. Saat berita ini ditayangkan, video sudah ditonton 125.232 kali dan di-like 4,7 ribu orang.
Menurut Buya, kafir dalam istilah bahasa artinya menutup. Dan dalam Islam, kafir adalah orang yang menutup diri, tidak menerima Islam dan tidak menerima Nabi Muhammad. Sehingga, menurut Buya, tidak ada masalah menggunakan kata kafir pada orang di luar Islam. Sebab, tidak ada unsur cacian dan makian pada istilah yang secara tegas disebutkan di dalam Alquran dan hadis itu.
"Kalau seorang Hindu, Nasrani, Yahudi dibilang kafir tidak boleh, berarti kebalikannya dong. Berarti mereka bukan kafir. Kafir itu apa? Tidak mengakui Nabi Muhammad. Kebalikannya apa? Mengakui Nabi Muhammad. Mereka pun tidak mau kalau dikatakan mengakui Nabi Muhammad. Ini coba berpikir sejenak," kata Buya.
"Sebenarnya permasalahannya kompleks, tidak tahu tujuannya apa, kita tak mengerti. Tapi kami khusnuzon kepada semua tujuannya baik. Yang ingin menggunakan kalimat nonmuslim, insya Allah tujuannya baik. Cuma kami ingin menjelaskan, kenapa? Karena ada sangkut pautnya di dalam Alquran. Jangan sampai orang di luar Islam nanti lalu kembali ke Alquran, loh ini kok Alquran ada kafirnya, ini enggak benar ini. Ini hadisnya enggak benar. Kami tidak ingin orang di luar Islam. Kalau orang Islam mudah memahami. Karena nonmuslim itu bahasa Indonesia. Bahasa Arabnya tetap kafir. Anda yang bertuhan selain Allah itu adalah kafir," tuturnya.
Buya menegaskan, penggunaan istilah kafir sudah berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah. Kemudian, di Madinah, istilah ini pun tetap berlaku dan disebutkan oleh Rasulullah.
"Kenapa kami jelaskan seperti ini? Karena ada istilah ini di dalam Alquran. Dan Alquran berlaku di negeri apa pun. Di negeri kafir, di negeri Islam, di negeri perang, tetap berlaku agama Nabi Muhammad dan istilah Alquran. Supaya kita ingin jangan bikin keragu-raguan umat. Jadi makna kafir adalah yang tidak menerima Islam dan Nabi Muhammad. Maka siapa pun yang tidak menerima Islam dan Nabi Muhammad, itu kita sebut kafir. Itu sangat sesuai. Bahkan itu mengukuhkan akidahnya dia, bahwasanya kamu tidak menerima Nabi Muhammad. Lalu bagaimana? Ya dengan agamamu, lakum dinukum waliyadin," tuturnya.
Simak penjelasan Buya Yahya selengkapnya