NU Gelar Musyawarah Nasional Bahas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Lambang NU (Nahdlatul Ulama).
Sumber :

VIVA – Nahdlatul Ulama menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019.

Dalam forum tertinggi setelah muktamar di organisasi NU itu, para ulama akan membahas berbagai masalah kemasyarakatan dan kebangsaan dalam sudut pandang yurisprudensi Islam atau fikih (bahtsul masail), di antara dibagi dalam bahtsul masail waqiiyyah (aktual), maudluiyyah (tematik), dan qonuniyyah (perundang-undangan).

Dalam siaran pers kepada VIVA pada Selasa, 26 Februari 2019, NU menyatakan, tema sentral Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar, yakni "Memperkuat Ukhuwah Wathaniyah untuk Kedaulatan Rakyat", memang dilandasi situasi nasional menjelang pemilu 2019. Tetapi pada dasarnya bukan soal itu saja, melainkan banyak hal penting lain yang akan dibahas dan dikaji.

Persoalan-persoalan selain politik dan pemilu yang akan dibahas, antara lain masail waqi'iyah, mencakup bahaya sampah plastik, niaga perkapalan, bisnis money game, dan sel punca; masail maudluiyah, yang meliputi masalah kewarganegaraan dan hukum negara, konsep Islam Nusantara, dan politisasi agama; dan masail diniyah qanuniyah, yang mencakup RUU Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Di bagian rekomendasi, NU tengah mengkaji agar Pemerintah mempertimbangkan kembali pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk mengatasi defisit pasokan energi dalam jangka panjang," kata Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar NU, dalam keterangan pers itu.

Mengenai momen pemilu, Robikin mengingatkan, sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, hasil pemilu harus mampu menjunjung, menegakkan, dan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. "Mandat sejati dari kekuasaan adalah kemaslahatan rakyat, kesejahteraan sebesar-besar rakyat Indonesia."

"Karena itu," dia menekankan, “pilpres, pileg, dan pilkada tidak boleh berhenti sebagai ajang suksesi kekuasaan, tetapi momentum penyegaraan kembali komitmen penegakan kedaulatan rakyat di tengah situasi zaman yang berubah dan bergerak cepat."