Calonkan Bekas Koruptor, Partai Beri Pendidikan Politik Buruk

Seorang pria melintasi baliho sosialisasi Pemilu 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi memandang pencalonan mantan koruptor menjadi anggota legislatif sebagai pendidikan politik yang tidak baik oleh partai politik. Lembaga antirasuah itu berkali-kali mengingatkan agar caleg yang pernah terlibat korupsi tidak dicalonkan.

Demi mewujudkan pemerintahan yang bersih, bahkan pimpinan KPK menyarankan Komisi Pemilihan Umum memajang foto para caleg bekas napi korupsi dalam alat peraga atau baliho di setiap daerah pemilihannya.

"Ya mungkin (pajang di baliho), koruptor dari dapil mana, ya di situ sajalah di TPS-nya. Ditempelinlah di sana calon-calonnya di TPS berapa dan di dapil berapa nanti disebutkan, dengan tanda kurung (dituliskan) mantan terpidana korupsi. Bukan mempermalukan, ini kan kita menyampaikan fakta," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Senin, 25 Februari 2019.

Senada, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menilai, yang paling penting adalah imbauan dan membangun kesadaran masyarakat sebagai pemilih, agar benar-benar memperhatikan siapa yang hendak dipilih, karena mereka akan mewakili rakyat di parlemen. Masyarakat jadi bisa memperoleh penerangan untuk wakil-wakil yang akan dipilih itu. Supaya tahu mana yang bersih dan jujur.

"Kalau hanya memilih, misalnya, berdasarkan uang yang diberikan, maka artinya pemilih berkontribusi untuk tidak mewujudkan Indonesia yang lebih baik ke depan. Jadi kita perlu jauh lebih hati-hati untuk memilih, dan pilihlah orang-orang yang punya rekam jejak atau latar belakang yang bisa dipertanggungjawabkan dan tidak terkait kasus korupsi," tuturnya.

Dihibungi terpisah, Rohaniawan sekaligus budayawan Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis mengatakan, pengajuan caleg yang pernah dijatuhi hukuman dan dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi adalah pendidikan yang buruk. Apalagi, masyarakat harus memilih di antara partai-partai politik yang mengusung caleg eks napi korupsi.

"Untuk pendidikan etika politik untuk masyarakat itu suatu suatu signal yang buruk. Di situ tentu kriterianya juga apa yang menjadi program partai dan sebagainya, jadi sangat sulit melarang hal itu. Karena ada pertimbangan macam-macam," kata Romo Magnis, akhir pekan kemarin.

Romo Magnis berharap adanya kesadaran masyarakat, bahwa caleg-caleg yang pernah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi, seharusnya tidak dapat tempat di dalam politik. 

"Mereka mewakili rakyat, demokrasi itu kekuasaan rakyat. Kalau Dewan itu semakin banyak terdiri dari orang-orang yang memanfaatkan situasi untuk diri sendiri bahkan dengan tidak jujur amat membahayakan demokrasi," katanya.

Sedangkan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai tepat KPU mengumumkan daftar tersebut untuk memenuhi tanggung jawab. Setelahnya, baru diberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih caleg 'bersih' atau memiliki catatan bekas napi kasus korupsi.

"Biar nanti hasil pemilu kita lihat apakah masyarakat memilih atau tidak atau masyarakat memberikan mantan napi koruptor kesempatan. Kalau suara anjlok artinya jangan mengulangi kembali (usung caleg eks napi koruptor)," ujarnya.

Diketahui, dari pengumuman KPU muncul bahwa Partai Hanura jadi partai dengan jumlah caleg mantan koruptor terbanyak yakni 11 orang. Disusul Partai Golkar dan Partai Demokrat dengan masing-masing 10 orang. Kemudian ada Partai Berkarya dengan 7 orang, Partai Gerindra 6 orang, PAN 6 orang, Partai Perindo 4 orang, PKPI 4 orang, PBB 3 orang, dan PPP 3 orang. Lalu ada PKB 2 orang, PDIP 2 orang, Partai Garuda 2 orang, dan PKS 2 orang. Sementara NasDem dan PSI nihil.

Sejauh ini sudah terdapat 81 caleg mantan koruptor, baik DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun DPD, yang diumumkan KPU.