Dosen Bercadar IAIN Bukittinggi yang Dipecat Pantang Menyerah

Hayati Syafri (kanan), dosen IAIN Bukittinggi, bersama tim pengacaranya dalam konferensi pers di Padang, Sumatera Barat, pada Minggu malam, 24 Februari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang diberhentikan atau dipecat sebagai pegawai negeri sipil karena tidak bekerja selama 67 hari kerja, blakblakan tentang fakta lain berkaitan masalah yang dihadapinya. Dia meyakini, sebetulnya bukan akumulasi ketidakhadiran itu yang menjadi masalah utama.

Zulhesni, pengacara Hayati mengatakan, bahwa kliennya sempat diminta melepaskan cadar oleh pejabat Inspektorat Jenderal Kementerian Agama di kampus IAIN Bukittinggi pada Mei 2018. Tujuannya agar masalah indisipliner dalam perkara absen berkantor selama 67 hari kerja kelak tidak disoal lagi.

Tim Kementerian yang ditunjuk untuk menyelesaikan persoalan cadar itu juga berjanji menghubungi lagi Hayati, paling lambat pekan setelah pertemuan itu.

"Mereka bilang, ini ada kelalaian Bu Hayati [absen] 67 hari kerja. Kalau tetap bercadar, tentu bisa diberi sanksi dengan alasan ini (67 hari kerja)," kata Zulhesmi di Padang pada Minggu malam, 24 Februari 2019.

Pada prinsipnya, kata Zulhesmi, yang dibahas waktu itu adalah persoalan bercadar. Hayati berkukuh tetap bercadar, dan kalau memang penggunaan cadar dilarang, dia meminta ditunjukkan peraturannya. Dia berkesimpulan, sesungguhnya yang dipermasalahkan ialah penggunaan cadar, namun urusan absen 67 hari kerja itulah yang dijadikan alasan.

Dia berdalih, masalah absensi 67 hari kerja itu sesungguhnya dapat dijelaskan dan Hayati dapat mempertanggungjawabkannya. Sebab Hayati sedang studi doktoral atau S-3, dan otoritas kampus sejak awal mengizinkannya.

Melalui pertemuan itu, Zulhesni sempat menawarkan solusi terakhir melalui kebijakan, misal, jika mengajar dengan bercadar tidak boleh, Hayati mungkin bisa dipindahkan ke bagian administrasi. Namun, sekian lama menunggu jawaban, bukan solusi yang didapat, melainkan surat pemberhentian.

Banding

Hayati pantang menyerah dan menerima begitu saja keputusan pemberhentian itu. Dia, melalui tim kuasa hukumnya dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM) Sumatera Barat, berencana mengajukan banding atas keputusan itu.

Bahkan, jika banding itu ditolak, upaya hukum lain juga akan ditempuh, termasuk menggugat hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Hayati meyakini SK pemberhentian itu bukan karena absen 67 hari kerja, melainkan gara-gara cadar. Lagi pula, otoritas kampus tahu bahwa dia kuliah S-3.

Dia mengklaim, selama berkuliah tetapi memenuhi kewajiban sebagai dosen. Kalau memang absensi itu dipermasalahkan, dia mempertanyakan, mengapa dosen lain yang studi doktoral juga tidak diperkarakan.

"Kalau hitungannya (absensi) dari pagi hingga sore, tentu saya, kami, yang kuliah S-3, tidak bisa. Kita kuliah, kan, mendapat izin dari kampus. Dan [hari kerja] yang dipersoalkan itu hanya di tahun 2017. Di tahun sebelumnya, kok, aman-aman saja. Saya kuliah 2014. Sebelum 2017 itu, mungkin lebih banyak lagi (absensi),” ujarnya.

Surat keputusan pemberhentian oleh Kementerian Agama itu diterima Hayati pada 20 Februari 2019. Dalam surat itu ditegaskan bahwa Hayati dinyatakan melanggar disiplin. Hayati dianggap melanggar ketentuan pasal 3 angka 11 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. (mus)