Surplus Jenderal TNI, Apa Sebabnya?
- Puspen TNI
VIVA – Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah membahas wacana restrukturisasi perwira menengah dan tingginya untuk dapat menjabat di jabatan sipil kementerian/lembaga negara. Wacana itu digulirkan oleh Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat menggelar Rapim TNI 2019 akhir Januari lalu.
Salah satu upaya merestrukturisasi jabatan itu adalah dengan merevisi Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Khususnya di Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan-jabatan sipil yang boleh dijabat perwira TNI aktif. Revisi ini menghendaki adanya perluasan jabatan sipil bagi perwira militer.
Tak dipungkiri, restrukturisasi TNI ini imbas dari menumpuknya jumlah perwira tinggi (pati) dan menengah (pamen) nirjabatan. Hingga akhir 2018, setidaknya ada 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan alias non-job.
Revisi itu diharapkan bisa menjadi 'jalan pintas' untuk menyerap tenaga para perwira TNI non-job ini di jabatan-jabatan sipil kementerian/lembaga. Walaupun Pasal 47 ayat (2) UU TNI sudah memberikan ruang bagi prajurit TNI untuk bekerja di 10 institusi sipil, tapi rupanya itu belum juga menuntaskan persoalan.
Jangka pendeknya, TNI mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2016 akan merestrukturisasi 60 jabatan baru bagi perwira dengan pangkat kolonel akan naik pangkat ke jenderal bintang satu (brigjen), seterusnya bintang satu ke bintang dua (mayjen) dan tiga (letjen).
Kenaikan pangkat ini seiring dengan peningkatan tipe Korem-AD, penyesuaian jabatan pada satuan-satuan komando lainnya, serta pembentukan organisasi baru namanya Kogabwilhan dipimpin panglima berpangkat bintang tiga dengan wakilnya bintang dua dan asistennya ada enam bintang satu sehingga otomatis menarik kolonel yang di bawah.
"Paling tidak sudah akan berkurang dari 500 (perwira kolonel non-job) yang disampaikan tadi, bisa sampai 150 sampai 200 mudah-mudahan," kata Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di sela Rapim TNI, Kamis, 31 Januari 2019.
Masalah surplus jabatan jenderal dan kolonel ini memang persoalan klasik. Jauh sebelumnya, kelebihan perwira non-job ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya, seiring pergantian pucuk pimpinan TNI, tak pernah ada upaya konkret untuk mengatasi masalah ini.
"Mungkin ini barangkali yang dulu-dulu menganggap ini hal tabu untuk diketahui publik," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi di Balai Wartawan TNI, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019.
Dalam sebuah artikel di Wira, majalah internal Kementerian Pertahanan edisi Maret-April 2018, Sisriadi yang kala itu masih menjabat sekretaris Ditjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan, menulis bibit masalah kelebihan jenderal dan kolonel sudah ada sejak 15 tahun lalu, yaitu sejak diberlakukannya Undang Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dari paparan Asisten Personel Panglima TNI pada Rapim TNI 2017, saat itu ada kelebihan Pati TNI sejumlah 141 orang atau 22,2 persen dari Daftar Susunan Personel dan Peralatan (DSPP atau komposisi perwira dalam jabatan), yang meliputi 63 orang Pati TNI AD, 45 orang Pati TNI AL, dan 37 orang TNI AU.
Sementara itu, untuk golongan kolonel, TNI kelebihan 790 orang atau 22,6 persen DSPP yang meliputi 469 orang kolonel TNI AD, 214 orang kolonel TNI AL, dan 140 orang kolonel TNI AU.
"Masalah tersebut bukan hanya berpengaruh terhadap personel secara individu saja, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif negatif terhadap sistem pembinaan satuan TNI secara keseluruhan," papar Sisriadi.
Pada umumnya, pejabat di lingkungan TNI kala itu berpendapat, dihapuskannya Dwifungsi ABRI menjadi faktor utama yang mendorong bertambahnya jumlah kolonel dan pati. Mereka menganggap dengan dihapusnya Dwifungsi ABRI terjadi penumpukan perwira TNI berpangkat kolonel ke dalam struktur organisasi TNI.
Menurut Sisriadi, sampai dengan 2012, pendapat itu masih valid. Namun, sejak 2009 terjadi pemisahan alamiah secara gradual generasi pati yang menganggap penumpukan itu gara-gara Dwifungsi ABRI dihapus. Generasi itu berakhir pada 2012 karena mereka telah memasuki masa pensiun.
"Oleh karena itu, penghapusan Dwifungsi ABRI sudah tidak berpengaruh terhadap masalah kelebihan kolonel dan pati sejak tahun 2012 sampai saat ini," ujarnya.
Perwira Pilihan
Tapi setidaknya, Sisriadi mengidentifikasi tiga penyebab kelebihan kolonel dan Pati TNI. Pertama, perpanjangan usia pensiun bagi perwira TNI dari 55 menjadi 58 tahun, sehingga terjadi perpanjangan masa dinas keprajuritan perwira selama tiga tahun.
Imbasnya terjadi ketidakseimbangan komposisi personel perwira TNI yang terjadi sampai sekarang. Di satu sisi, TNI kelebihan kolonel dan pati, namun di sisi lain terjadi kekurangan letkol ke bawah.
"Penambahan usia pensiun selama tiga tahun telah menyebabkan bertambahnya masa guna golongan Pati yang menghambat pergerakan vertikal personel berpangkat kolonel dan pangkat-pangkat di bawahnya," ujarnya.
Kedua, kebijakan penyediaan kader pimpinan melalui pendidikan pengembangan umum tingkat menengah yang tidak selaras dengan kebijakan pembinaan karier pada jenjang kepangkatan kolonel di masing-masing matra.
Sebagai contoh di TNI AD, Mabesad menetapkan jabatan kolonel dan pati sebagai 'Jab-Pil'. Artinya, hanya perwira-perwira terpilih saja yang menduduki jabatan-jabatan tersebut. Secara teoritis, proses pemilihan dilakukan melalui sidang penentuan jabatan golongan IV.
Namun, dalam praktiknya, proses pemilihan telah dilakukan secara dini pada saat seleksi masuk Seskoad, karena semua lulusan Seskoad hampir bisa dipastikan akan menduduki jabatan golongan IV. Kebijakan ini juga berlaku di lingkungan TNI AL maupun TNI AU.
"Apabila jumlah peserta didik Sesko Angkatan tidak dihitung secara cermat maka dapat mengakibatkan kelebihan personel kolonel seperti yang terjadi saat ini," kata Sisriadi.
Ketiga, sistem pembinaan karier personel TNI yang “setengah memaksa” setiap personel untuk berkarier sebagai prajurit TNI sampai batas maksimum usia pensiun. Itu tergambar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI.
Pasal 21 (3) menyebutkan bahwa, “Prajurit Karier yang selesai menjalankan masa Ikatan Dinas Pertama dan tidak mengajukan berhenti karena alasan tertentu dianggap melanjutkan Ikatan Dinas Lanjutan”.
"Aturan ini sangat menyulitkan para pembina kekuatan personel dalam menjaga keseimbangan komposisi personel melalui pengendalian input dan output personel, karena tidak ada peluang bagi pembina kekuatan personel untuk memisahkan personel demi kepentingan organisasi," ungkapnya.