KPK Tegaskan MLA RI-Swiss Bisa Persempit Ruang Gerak Koruptor
- ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi antusias atas perjanjian bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) antara pemerintah Indonesia dan Swiss.
Lembaga antirasuah itu menilai perjanjian MLA ini akan semakin memperkuat kerja sama internasional yang dimiliki Indonesia.
KPK meyakini, semakin lengkapnya aturan internasional, termasuk perjanjian MLA dengan Swiss akan semakin mempersempit ruang gerak koruptor. Setidaknya, koruptor dan pelaku kejahatan lainnya semakin sulit menyembunyikan hasil kejahatan mereka di negara lain, termasuk Swiss.
"Dengan semakin lengkapnya aturan internasional, maka hal tersebut akan membuat ruang persembunyian pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil kejatan dan alat bukti menjadi lebih sempit," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah ditanyai wartawan, Jumat, 8 Desember 2019.
Febri menjelaskan, KPK tergabung dalam tim perumus MLA antar kementerian bersama Kumenkumham, Polri, Kejaksaan, PPATK, Ditjen Pajak, dan lainnya.
Selain MLA, Febri mengatakan, kerja sama internasional dalam memberantas korupsi bisa melalui sejumlah jalur lainnya. Beberapa di antaranya, perjanjian bilateral atas ekstradisi, perjanjian Multilateral, memakai konvensi internasional seperti UNCAC atau UNTOC serta hubungan baik antar negara.
Dikatakan Febri, penguatan kerja sama internasional ini diperlukan dalam proses penegakan hukum, termasuk korupsi. Hal ini lantaran korupsi dan kejahatan keuangan lainnya sudah bersifat trans nasional dan lintas negara. Selain itu, perkembangan teknologi Informasi juga semakin tidak mengenal batas negara.
"Sehingga, MLA dan sarana perjanjian internasional lainnya memiliki arti penting, termasuk MLA Indonesia Swiss yang baru saja ditandatangani," ujarnya.
Namun, Febri mengingatkan selain perjanjian MLA dan perjanjian internasional lainnya, kapasitas penegak hukum menjadi unsur penting dalam proses penegakan hukum. Itu sebab kapasitas penegak hukum menentukan penelusuran aset-aset dari hasil kejahatan di luar negeri.
"Selain adanya Perjanjian MLA, kapasitas penegak hukum juga sangat penting, karena proses identifikasi mulai penyelidikan hingga penuntutan sangat penting untuk bisa menemukan adanya alat bukti atau hasil kejahatan yang berada di luar negeri," imbuhnya.
KPK sendiri telah beberapa kali menangani kasus korupsi yang didukung oleh kerja sama internasional baik bilateral, multilateral ataupun menggunakan konvensi Internasional seperti UNCAC dan UNTOC di berbagai negara.
Antaranya yakni perkara suap terkait proyek pengadaan bahan bakar Tetra Ethyl Lead (TEL) di PT Pertamina atau yang dikenal dengan sebutan kasus Innospec, kasus dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung yang melibatkan perusahaan Alstom Power Amerika, korupsi proyek e-KTP, dugaan suap pengadaan mesin Rolls-Royce dan pesawat Airbus di PT Garuda Indonesia, hingga pengembalian mantan Bendum Demokrat dan istrinya Neneng Sri Wahyuni yang sempat buron.?