Tak Ada Reportase, Tabloid Indonesia Barokah Diduga Cuma Asal Kutip
- VIVA/ Dani.
VIVA – Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Jimmy Silalahi menduga Tabloid Indonesia Barokah tak melakukan proses reportase sebagaimana sebuah produk pers dibuat. Konten dalam tabloid sejauh ini dinilai hanya merupakan gabungan dari data-data sekunder.
"Secara pribadi saya melihat ada penggabungan, jadi ada kompilasi data-data sekunder yang di dalam etika jurnalistik itu sebenarnya tidak boleh terjadi," kata Jimmy di Jakarta, Sabtu 26 Januari 2019.
Kemudian, lanjutnya, pada bagian kotak redaksi tabloid juga tak tercantum nama reporter. Menurutnya, nama wartawan yang melakukan reportase atau peliputan mestinya tercantum dalam produk jurnalistik.
"Ditambah ada sejumlah berita yang dicoba untuk dimunculkan kembali dari sejumlah portal berita mainstream yang kita semua sudah tahu," kata dia.
Meski begitu, analisis konten oleh pihaknya belum rampung dan diusahakan kelar pekan depan. Walau analisis konten belum rampung, Dewan Pers berharap masyarakat tak ikut menyebarluaskan tabloid tersebut.
"Ini bukan cara yang cerdas untuk mengedukasi bangsa. Semua pihak sebaiknya menggunakan informasi yang positif untuk mencerdaskan pemilih dalam rangka pemilu pada 17 April nanti," ujarnya menyudahi.
Sebelumnya, tim sukses calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, melaporkan Tabloid Indonesia Barokah ke Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat, 25 Januari 2019.
Nurhayati, selaku anggota Direktorat Advokasi dan Hukum Prabowo-Sandi, mengatakan tabloid itu dilaporkan karena isinya mengandung fitnah dan ujaran kebencian terhadap Prabowo dan Sandiaga serta umat Islam yang terhimpun dalam kegiatan 212 di Monas.
Isi dari berita itu, menurut dia, berpotensi menimbulkan permusuhan, baik antar golongan pendukung Prabowo maupun golongan umat Islam karena membuat keonaran di masyarakat akibat tabloid tersebut. Pemberitaan tabloid itu, lanjut Nurhayati, juga menyerang kehormatan nama baik Prabowo dan Sandiaga yang menimbulkan ujaran kebencian.
"Maka dapat dikatakan melanggar asas berimbang beritikad buruk, pasal 1, 3, 4 dan 8 kode etik jurnalistik," ujarnya.