Pengamat Teroris Usul Program Deradikalisasi Diganti Humanisasi

Ilustrasi/Densus 88 menangkap terduga teroris.
Sumber :
  • VIVAnews/Fajar Sodiq

VIVA – Pengamat teroris Al Chaidar mengusulkan kepada pemerintah untuk menggantikan program deradikalisasi narapidana teroris dengan program humanisasi. Sebab program deradikalisasi selama ini ternyata gagal total gara-gara banyak narapidana teroris malahan makin radikal.

Salah satu program humanisasi itu, menurut Al Chaidar, ialah dengan pendidikan humaniora, secara formal maupun informal, agar teroris mengenal manusia lain dan menghormati perbedaan. 

Al Chaidar meyakini, pemikiran para teroris akan berubah jika diberikan pendidikan dan pengenalan pada komunitas yang lebih plural dan multikultur. Juga mengenalkan mereka pada komunitas manusia lain di berbagai lokasi yang mengalami nasib tidak beruntung.

Para narapidana teroris harus dikenalkan pada komunitas plural yang beragam kultur dan bahasa agar mereka saling mengenal dan menghargai nilai kemanusiaan. Sebab mereka selama ini hidup dalam komunitas yang monolitik dan eksklusif, bahkan ada yang asosial atau anti-sosial.

"Indikator berhasilnya deradikalisasi adalah ketika para mantan teroris berpikir secara reflektif tentang what does it mean to be human; manusia yang baik biasanya tidak membunuh manusia lainnya,” katanya di Padang, Sabtu, 26 Januari 2019.

Manusia yang berniat untuk membunuh, menghilangkan, atau melakukan genosida terhadap manusia lain, menurutnya, harus dikeluarkan dari komunitas moral manusia. “Humanisasi adalah upaya melawan kekerasan, penindasan, dan dehumanisasi beserta efeknya; mengakui martabat yang melekat pada diri manusia dan hak-hak asasi semua anggota keluarga manusia," ujarnya.

Al Chaidar juga berpendapat, humanisasi adalah kesediaan mengakui kemanusiaan lawan. Melihat musuh sebagai pihak di luar komunitas manusia dapat mendorong agresi dan melegitimasi kekerasan. Bagaimana pun, mengenali karakteristik manusia yang satu dengan yang lain dapat membantu untuk membatasi eskalasi konflik dan kekerasan.

Humanisasi, katanya, juga dapat membuka jalan bagi relasi timbal-balik pihak-pihak yang bermusuhan seraya membangun keyakinan dengan melakukan kesetaraan sesama manusia, menciptakan norma-norma bersama guna membatasi konflik.

"Sebaiknya, narapidana kasus terorisme, juga harus diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu narapidana ideolog, narapidana radikal, dan narapidana simpatisan,” katanya.

Narapidana terorisme ideolog, misalnya, harus ditempatkan dalam sel terpisah dan pengawasan yang maksimal. Para tahanan pengikut radikal atau militan ditempatkan di sel khusus untuk pembinaan. Narapidana kategori simpatisan bisa ditempatkan di sel yang sama dengan tahanan umum.

“Dengan cara ini, diharapkan, setelah mereka bebas dari penjara, terpidana teroris tidak lagi kembali ke perilaku lama dan hubungan yang menjerumuskan mereka ke dalam lingkungan kekerasan dunia teror," kata Al Chaidar.