Razia Buku: Mengapa Buku-buku Berhaluan Kiri Jadi Sasaran?
- VIVA/Andri Mardiansyah
Dalam satu bulan terakhir setidaknya aparat sudah dua kali merazia buku-buku yang diduga "berbau komunis", padahal beberapa di antaranya adalah buku sejarah. Mengapa buku-buku yang dianggap berhaluan kiri menjadi sasaran aparat?
Razia terakhir terjadi di sebuah toku buku di Padang, Sumatra Barat dan melibatkan aparat gabungan TNI, Polri dan Kejaksaan Negeri. Aparat menyita enam eksemplar dari tiga buku yang disinyalir isinya mengandung paham komunisme dalam razia pada Selasa (08/01).
Kadispen TNI Angkatan Darat Brigjen Candra Wijaya mengungkapkan alasan di balik aksi razia ini adalah larangan ajaran komunisme yang berlaku berdasarkan peraturan 1966.
"Alasannya yang pertama adalah penyebaran ajaran komunisme ini masih dilarang karena ada TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966, rujukannya itu," ujar Candra kepada BBC Indonesia, Kamis (09/01)
Dua pekan sebelumnya, ratusan buku yang diduga berisi ajaran paham komunis juga dirazia di Kediri, Jawa Timur, pada Rabu (26/12). Razia dilakukan setelah Kodim 0809 Kediri mendapat laporan dari warga.
Sejarawan Bonnie Triyana menilai aksi ini sebagai "puncak gunung es dari wabah anti-intelektual pada sebagian kalangan masyarakat dan sebagian elit negeri".
Sementara pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi menyebut razia terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri merupakan "warisan orde baru yang membatasi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri".
Jika kemudian aparat melakukan razia terhadap buku-buku kiri atau buku yang dianggap berhaluan komunis, marxisme dan leninisme, dia berpendapat "justru aparat menjadikan gagasan tersebut sebagai mitos".
Imbasnya, gagasan itu tidak dipahami sungguh-sungguh secara akademis, namun kemudian justru memunculkan rasa ingin tahu yang berlebihan.
"Ini sepertinya ancaman seperti itu terus dipelihara tanpa adanya pemahaman rasional," cetusnya.
"Diamankan" karena Terindikasi Bermuatan Paham Komunis
Tim Komunikasi Intelijen Daerah (Kominda) yang merupakan gabungan dari unsur TNI, Polisi, Kejaksaan, Kesbangpol dan lainnya menyita tiga buku yang disinyalir mengandung paham komunis di toko buku Nagare Boshi yang berada di kawasan jalan Hos Cokroaminoto, Kota Padang, Sumatera Barat pada Selasa (08/01).
Komandan Koramil 01 Padang Barat-Padang Utara, Mayor Infanteri Parningotan Simbolon mengatakan buku-buku ini "diamankan" karena terindikasi bermuatan paham komunis.
"Sementara di Indonesia PKI tidak diperbolehkan," ujar Simbolon seusai melakukan razia, Selasa (08/01).
Buku-buku yang disita antara lain berjudul Kronik 65 , Jasmerah , dan Mengincar Bung Besar . Seluruh buku yang berjumlah enam eksemplar kemudian dibawa ke Markas Kodim setempat.
Parningotan Simbolon menyebut pihaknya juga akan melakukan pemeriksaan ke tempat-tempat toko buku lain yang ada di Padang.
"Kita akan cek juga ke Gramedia yang terindikasi menjual buku yang sama. Untuk di toko ini, baru pertama kali kita lakukan penyitaan," katanya.
Salah satu buku yang disita di Padang karena dianggap bermuatan paham komunisme adalah seri Historia yang bertajuk Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno .
Peluncuran buku ini bahkan dihadiri Ibu Megawati Sukarnoputri dan Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno.
Bonnie Triyana yang juga menjadi pemimpin redaksi majalah sejarah Historia mempertanyakan mengapa bukunya disita. Padahal, buku itu hanya mengisahkan upaya pembunuhan terhadap Sukarno yang menewaskan 10 orang dan melukai 100-an lainnya.
"Itu kan buku isinya berdasarkan riset dan reportase tim Historia selama berbulan-bulan tentang bagaimana Bung Karno semasa memerintah itu paling tidak tujuh kali pernah diserang secara fisik, mau dibunuh," jelas Bonnie.
Lantas, apa itu berarti buku ini berbau komunis?
" Nggak ada, kecuali dihubung-hubungin ," ujarnya berseloroh.
Dua pekan sebelumnya, Kodim 0909 Kediri juga menyita ratusan buku - yang diduga berisi ajaran paham komunis- di tiga toko buku yang berlokasi di Jalan Brawijaya, Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri.
Dari berbagai judul buku yang disita, dua di antaranya adalah tulisan aktivis Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan dan Di Bawah Lentera Merah.
Selain itu, buku-buku yang disita antara lain Manifesto Partai Komunis, Benturan NU PKI 1948-1965, Negara dan Revolusi,, Opisisi Rakyat, Catatan Perjuangan 1946-1948 dan Gerakan 30 September .
Tak cuma itu, buku filsafat bertajuk Empat Karya Filsafat juga ikut disita .
Dandim Kediri Letkol Inf Dwi Agung Sutrisno mengungkapkan razia ini merupakan tindak lanjut dari laporan warga.
"Tidak lain karena memang ada laporan dari masyarakat sehingga supaya tidak menimbulkan keresahan di masyarakat kita amankan dan akan kita lakukan pengkajian dengan unsur-unsur terkait," ujar Dwi Agung.
Buku yang disita akan diteliti lebih dalam untuk mendapatkan kesimpulan apakah benar buku-buku itu melanggar ketentuan TAP MPRS nomor XXV tahun 1966, yang melarang penyebaran ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Bonnie Triyana pula menyoroti mekanisme razia buku yang di lakukan aparat. Semestinya, sebelum razia dilakukan aparat melakukan riset terlebih dulu terkait buku yang diduga berbau komunisme.
"Aparat `menduga buku berbau komunis, itu sudah salah, cacat nalarnya," jelasnya.
Sementara, menurut pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, penentuan buku-buku terlarang harus berdasar proses pengadilan.
"Dan sampai sekarang tidak ada proses pengadilan yang kemudian menyatakan buku-buku yang di- sweeping itu terlarang. Saya pikir aparat keamanan sudah off-side di situ," ujar Airlangga.
Artinya, masih menurut Airlangga, proses razia ini tidak mengikuti perkembangan aturan-aturan hukum yang baru, sehingga "TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 digunakan secara arbitrer untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru kontradiktif dengan perkembangan demokrasi yang ada sekarang."
Adapun Mahkamah Konstitusi pada 2010 silam memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku tanpa melalui proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.
Dalam putusan itu, ditulis juga bahwa penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama saja dengan pengambilalihan hak pribadi secara sewenang-wenang yang dilarang Pasal 28H ayat 4 UUD 1945.
Menyoroti persoalan razia buku yang diduga berbau komunis, Airlangga memandang aksi ini seperti yang dilakukan Orde Baru yang menggunakan mekanisme kekuasaan untuk menghapus ingatan rakyat Indonesia terhadap sejarah negerinya sendiri.
"Pola-pola semacam ini yang masih terus terwariskan sampai saat ini dimana aparat itu kemudian melakukan sweeping dengan sewenang-wenang dan seringkali buku-buku itu tidak ada relevansinya dengan persoalan komunis," tukasnya.
Wabah Anti-Intelektual
Menurutnya, tindakan aparat dalam hal ini TNI dan Jaksa tidak bijak. Pasalnya, buku merupakan produk intelektual yang semestinya disikapi dan direspon dengan cara yang juga intelek.
"Kalau merespon dengan cara-cara ini (razia) artinya ada kemunkingan aparat ini punya sikap anti-intelektual dan ini bahaya untuk peradaban kita," tegasnya.
Di melanjutkan razia buku ini berrtentangan dengan semangat zaman yang semakin terbuka, dimana informasi dan akses internet sangat mudah didapat.
"Kalau buku cetakan disita, memang anak muda nggak bisa akses ke website yang menyediakan informasi yang serupa?," imbuhnya.
Senada, Airlangga Pribadi memandang laporan warga yang memicu razia ini didasari pada "ketakutan yang muncul dari ketidaktahuan".
"Mereka tidak paham tentang sejarah negeri ini," kata dia.
Selain itu, masih banyak warga yang tidak mengetahui bahwa saat ini kita sedang memasuki era demokrasi, dimana kebebasan berpikir dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan itu seharusnya dijamin oleh negara.
Yang menurutnya, tidak akan menjadi masalah jika ruang kebebasan untuk membaca, berdiskusi dan mempelajari gagasan apa pun, baik itu paham berhaluan kanan atau kiri.
"Ide-ide gagasan marxisme ataupun komunisme ketika dibaca dengan ruang kebebasan yang memadai, kita justru bisa melihat kelemahan-kelemahan dari gagasan tersebut," jelas Airlangga.