Ketika Letusan Krakatau Berdampak ke Seluruh Dunia
- bbc
Pakar tsunami mengatakan bahwa potensi tsunami akibat longsoran Gunung Anak Krakatau bisa diprediksi dengan merujuk pada letusan dahsyat ibunya, Krakatau, pada 1883. Tapi bagaimana letusan itu berdampak pada dunia?
Ketika itu erupsi besar Krakatau menghancurkan sepertiga badan gunung api yang mengakibatkan tsunami.
"Yang sekarang massa gunung (Anak Krakatau) tidak sampai 30% dari besar Gunung Krakatau dulu. Tapi potensinya sama karena dia menyimpan tipe letusan yang sama dengan ibunya dulu. Bahwa potensi bahayanya ada di situ dan itu bisa saja meletus kapan saja dan dengan mekanisme yang tidak kita duga," ujar Abdul Muhari kepada BBC News Indonesia, Selasa (25/12).
Tapi bagaimana sebenarnya catatan sejarah akan letusan Krakatau yang terjadi pada 27 Agustus 1883 itu?
"Letusan gunung api global pertama, dalam artian liputan berita global, adalah letusan Krakatau pada 1883," kata David Pyle, profesor ilmu bumi di Universitas Oxford, yang pernah menggelar di Bodleian Libraries di Oxford pada 2017 lalu.
Pameran itu memperlihatkan bahwa letusan besar gunung api, Vesuvius pada 79 Masehi, Tambora pada 1815, Krakatau pada 1883, menjadi subjek menarik, yang membuat manusia merasa ketakutan sekaligus kagum.
"Jaringan telegraf transatlantik baru saja dibuat, dan kabar akan letusan (Krakatau) tersebut sampai dalam beberapa jam ke Eropa utara. Dengan segera, Krakatau menjadi novel. RM Ballantyne menerbitkan buku berjudul Blown to Bits, beberapa tahun kemudian, diceritakan dari kesaksian orang-orang yang selamat dari letusan tersebut," ujar Pyle.
Saat itu, diperkirakan ada 36.000 orang yang meninggal, sebagian korban tewas karena luka bakar dari letusan gunung api, sementara korban lain meninggal akibat tsunami yang terjadi karena longsoran gunung api ke dalam kawah.
Letusan ini, menurut , juga mempengaruhi iklim dan menurunkan suhu dunia.
Situs juga mencatat awal letusan Krakatau pada 1883 bermula tiga bulan sebelumnya, pada 20 Mei, saat gemuruh mulai terdengar, getaran mulai terasa, dan materi keluar dari gunung api yang sebelumnya tak melakukan aktivitas dalam 200 tahun.
Dalam tiga bulan berikutnya, muncul letusan kecil secara reguler dari Krakatau, dan pada 11 Agustus mulai muncul abu dari gunung api tersebut. Letusan pun menjadi semakin kuat sampai 26 Agustus, dan bencana terjadi.
Letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883 terjadi pertama pada jam 05.30 pagi, dan berlangsung selama 4,5 jam, lewat empat letusan besar yang sangat kuat.
Letusan terakhir mengeluarkan suara paling keras yang pernah tercatat di planet Bumi ini.
Ratusan desa di Jawa dan Sumatera pun diterjang tsunami, dan bongkahan terumbu karang seberat 600 ton sampai naik ke permukaan.
Arsip online majalah juga menulis bahwa materi yang dikeluarkan oleh Krakatau terlontar begitu tingginya sampai menyebar dan menutupi ujung barat Jawa dan selatan Sumatera hingga ratusan kilometer dan menyebabkan kegelapan yang sulit untuk ditembus.
Alhasil selama beberapa hari, cahaya matahari tak terlihat: siang pun menjadi seperti malam.
Di berbagai tempat di dunia, terjadi berbagai abnormalitas di atmosfer. Jarum kompas bergerak-gerak dengan cepat, barometer juga naik turun dalam satu menit.
Di St Petersburg, Rusia, pada 27 Agustus, mencatat ada kenaikan merkuri, sebelum kemudian turun. Kejadian ini juga ditemukan di Valencia, Spanyol, Irlandia, dan Coimbra, Portugal, serta berbagai lokasi lain di Eropa.
Di berbagai tempat lain di dunia, matahari juga terlihat dengan warna-warna ganjil. Ada pula tempat yang mengalami ada matahari terbit yang lebih lambat, dan malam menjadi lebih panjang.
Menurut The Atlantic, warna merah yang aneh yang muncul saat matahari tenggelam juga terjadi selama beberapa minggu setelah letusan Krakatau, dan bisa terlihat di Hong Kong sampai San Francisco, selain juga di pantai timur Afrika, dan Gold Coast, Afrika Barat, Trinidad, dan Honolulu.
Dalam konferensi pers pada 23 Desember, juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa Gunung Anak Krakatau mengalami banyak letusan sejak Mei lalu, yang boleh dikata terjadi setiap hari.
"Periode pada November, Oktober, September, letusannya lebih besar daripada yang kemarin (22/12). Pada 5 November ada letusan besar, tapi tidak memicu tsunami. Badan Geologi masih menganalisis kenapa letusan kecil itu memicu tsunami," kata Sutopo.
Nantinya, data-data letusan Gunung Anak Krakatau itu akan bisa diakses oleh masyarakat, katanya
Letusan Gunung Anak Krakatau, menurut Sutopo, adalah bagian dari proses alami karena gunung tersebut masih dalam fase pertumbuhan. Setiap tahunnya, gunung tersebut bertambah tinggi 4-6 meter.
Gunung itu juga terus meletus dari waktu ke waktu dan kondisinya aman dalam radius 2 km.
"Tapi mengapa letusan yang tidak terlalu besar dibanding Oktober dan November, tapi bisa memicu tsunami dalam laut? Ini masih dilakukan penelitian," kata Sutopo.
Seorang ahli vulkanologi asal California, Jess Phoenix, menyebut, gunung Krakatau .
"Dampak dari erupsi terakhir Anak Krakatau harus menjadi pengingat bahwa kita perlu melakukan studi tambahan, pendidikan, dan upaya kesiapsiagaan lebih untuk menyelamatkan orang-orang dan bangunan yang ada selama gunung api meletus dan sesudahnya," tulisnya.