Khotbah Natal Uskup Agung: Kebencian Disebar dengan Rasa Bangga

Kebaktian di Gereja Katedral, Jakarta Pusat
Sumber :
  • VIVA.co.id/Syaefullah

VIVA – Uskup Agung Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengingatkan pesan agung Yesus tentang manusia dalam khotbah Misa II Natal 2018 di Gereja Katedral, Jakarta, Selasa, 25 Desember 2018.

Ignatius menjelaskan, khidmat yang paling terlihat dari Yesus adalah ketika menjadi manusia sehingga keyakinan bahwa manusia adalah priabdi yang mulia yang hidupnya sejak awal sampai akhir juga dihormati. Begitu pula martabatnya harus dijunjung tinggi dan hak serta kewajibannya harus dihormati. 

Namun, dalam perjalanan waktu itu, katanya, ada juga yang mengalami perubahan-perubahan. Ia menyinggung pemikiran seorang filsuf bernama Rene Descartes dengan premis termasyhurnya, “Cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada)”.

Dia mengkritik pemikiran itu karena seolah manusia hanya memiliki akal budi, padahal manusia mempunyai hati nurani yang tidak sekadar berpikir. Kini, salah satu teori filsafat Abad Pertengahan itu dipelesetkan menjadi “Aku belanja maka aku ada” oleh masyarakat modern, sehingga makin merendahkan manusia karena yang dilihat hanya dari merek produk yang digunakan. 

Kini, era post-truth atau pasca-kebenaran, bukan lagi soal benar atau tidak, melainkan eksistensi. “Enggak penting lagi yang saya katakan benar apa salah; yang penting saya eksis, katanya.”

Akibatnya, menurut Ignatius, pada zaman yang disebut pasca-kebenaran ini justru sebaran fitnah kian meluas. Sebab tidak penting lagi benar atau salah, melainkan eksistensi.

Dia mencontohkan penyebaran fitnah di media sosial sehingga orang begitu mudah terhasut kebencian. Bahkan, katanya, "Kebencian disebar dengan rasa bangga. Kembali lagi jati diri manusia direndahkan.”

Karena itulah dia menawarkan premis baru pengganti teori Rene Descartes, yaitu “Saya beriman maka saya ada”. Premis itu bukan sekadar berpikir, apalagi berbelanja, melainkan pernyataan keberimanan sejati dan merawat persaudaraan. Perlu dipertanyakan kalau ada yang mengaku beriman tapi malah memicu perpecahan umat.

Persaudaraan, katanya, pasti akan mendorong untuk berbela rasa. Jika itu tidak ada, maka perlu dipertanyakan juga kemanusiaannya. "Semakin beriman, semakin bersaudara, semakin berbela rasa," katanya. (mus)