Kisah Pedagang Sayur jadi 'Pelopor' Pencegahan Perkawinan Anak

Indotang, pedagang sayur dari Pulau Kulambing, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu penerima penghargaan pelopor pencegahan perkawinan anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Praktik perkawinan usia anak mengusik benak seorang pedagang sayur dan seorang remaja, hingga membuat mereka tergerak melakukan kegiatan menekan angka pernikahan dini yang masih tinggi di Indonesia.

Perempuan paruh baya itu datang dari jauh ke Jakarta pada pertengahan Desember lalu.

"Turun dari pesawat, handphone saya ndak dapat sinyal. Sampai hari ini belum ada juga," ujarnya sambil mengotak-atik telepon genggam versi lamanya.

Perempuan itu bernama Indotang. Ia adalah warga asli Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

"Sehari-hari kerjaan saya menjual sayur keliling di pulau. Beli (bahan dagangan)nya di daratan," jelasnya kepada BBC News Indonesia, di sela-sela acara peluncuran Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA), di Jakarta, Selasa (18/12).

Ia diundang untuk menerima penghargaan sebagai pelopor pencegahan perkawinan anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

"Kami sedang melakukan pencegahan perkawinan anak di semua pulau (di Kabupaten Pangkep)," ujarnya dengan dialek khas Pangkep.

"Kalau saya jalan ketemu ibu-ibu, saya selalu singgah, kasih nasihat, kasih dorongan, bilang `jangan lakukan itu (perkawinan anak)`. Apalagi kalau dia membeli (sayur di gerobak saya), saya selalu diskusi `jangan mau kasih kawin anakmu, dampaknya begini-begini`."

3.500 perempuan di bawah umur menikah setiap hari

Berdasarkan data badan PBB, UNICEF, satu dari empat perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Rata-rata, sekitar 3.500 anak dinikahkan setiap harinya.

Sedangkan secara global, 15 juta anak perempuan menjadi pengantin setiap tahunnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 pun mencatat hal yang sama. Sebanyak 25,71% pernikahan adalah perkawinan anak, di mana 23 provinsi memiliki prosentase di atas angka nasional.

Perkawinan anak dinilai rentan eksploitasi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kematian ibu dan bayi, hingga melanggengkan rantai kemiskinan.

Bagi Indotang, kegelisahan soal perkawinan anak muncul dari pengalamannya sendiri.

"Kita saja berkeluarga -kawin- itu (usia) 20 tahun, sudah cukup umur, tapi masih saja terjadi itu KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), karena masih belum memahami ini (hak-hak perempuan)," ungkap Indotang yang sekarang menjadi kepala LSM Sekolah Perempuan Pulau Kulambing itu.

"Apalagi yang di bawah umur," tambahnya.

Menurut Indotang, perkawinan anak di daerahnya telah membudaya sejak lama. Para orang tua akan menikahkan anak gadis mereka dengan pemuda setempat. Alasannya dua, untuk meringankan beban ekonomi keluarga dan agar mereka tidak menjadi perawan tua.

"`Bagaimana nantinya kalau dia bercukup umur ndak ada mau yang lamar?` Itu kehawatiran ibu-ibu. Tapi (kan) tidak dijamin itu, Tuhan (yang) menentukan, jodoh itu di tangan Tuhan," jelasnya.

Indotang tahu betul apa yang akan terjadi kepada anak-anak yang dipaksa menikah. Berbagai pengorbanan -yang sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak anak- harus dilakukan, mulai dari merawat anak, mengurus rumah, hingga akhirnya putus sekolah.

Ketidaktahuan soal reproduksi, ketidakstabilan emosi, serta belum matangnya aspek biologis pengantin di bawah umur, berpotensi menyebabkan terjadinya KDRT yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi saat melahirkan, katanya lagi.

Namun, meyakinkan para orang tua akan risiko yang ditanggung anak-anak mereka setelah menikah muda, bukan perkara mudah.

"Susah. Tidak gampang memasuki (meyakinkan) ibu-ibu," ujar Indotang.

"Ada juga yang melawan, bilang `kenapa kau cegah (anakku untuk menikah)? Itu kan bukan anakmu sendiri. Anakku, masa depan anakku ada di saya`."

Tapi ia tidak menyerah. Indotang tetap membujuk para ibu untuk memikirkan nasib anak-anak mereka. "Jangan kayak begitu, bu. Jangan kayak berpasrah, kasihan anak."

Jerih payah Indotang tak sia-sia. Lima tahun ia bergelut memperjuangkan hak anak dengan mencegah perkawinan usia anak berbuah manis.

Dalam pengamatannya, angka perkawinan anak di daerahnya mulai menurun sejak 2016.

"Bahkan saya berhasil mempengaruhi si anak ini, `jangan mau dikawinkan sama mama`. Dampaknya, masyarakat terutama yang ibu-ibu dan anak mulai mengerti, terbuka sudah pikirannya," ungkap Indotang tersenyum.

`Hambatannya justru KUA dan pengadilan agama`

Upaya seperti Indotang yang berusaha menekan angka perkawinan anak juga dilakukan pemuda 17 tahun asal Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, bernama Dewa Sukma Trinanda Adhytia.

Siswa SMA tersebut memang aktif dalam berbagai organisasi dan dalam kampanye sosial, yang digunakan untuk menyebarluaskan advokasi tersebut.

"Saya mengajak seluruh organisasi yang saya ikuti, contohnya seperti Insan Genre Bondowoso, kemudian PIK-R (Pusat Informasi Konseling Remaja), Green Generation. Kemudian saya juga menggandeng organisasi-organisasi remaja, contohnya seperti Duta Wisata, Mister Teen indonesia, dan sebagainya," kata Dewa kepada BBC Indonesia di kesempatan yang sama.

"Jadi, di sana, (saya gunakan) untuk menyebarkan apa saja dampak apabila anak melakukan pernikahan anak, pernikahan dini khususnya."

Seperti Indotang, keprihatinan Dewa akan kasus pernikahan anak bermula dari pengalamannya sendiri.

"SMA saya itu termasuk di daerah sedikit pelosok, di mana SMA saya itu tahun 2017 itu angka perkawinan remaja atau perkawinan anaknya masih tinggi," ujarnya. "Teman saya saja sudah ada yang nikah."

Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu wilayah dengan kasus pernikahan anak terbanyak di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Bondowoso, tahun 2015 lalu, duduk di posisi ketiga kabupaten dengan angka pernikahan anak tertinggi di Jawa Timur, dengan 2.250 kasus.

Dengan landasan ini, Dewa pun tergerak untuk `menyelamatkan` teman-temannya dari pernikahan dini setelah melihat langsung dampak dari praktik tersebut.

"Mungkin mereka merasakan enaknya di awal, tapi setelah menjalaninya, mereka mulai keluh kesah, mulai curhat-curhat."

Puncaknya, sang teman yang telah menikah tak lagi datang ke sekolah.

"Waktu itu entah kenapa kejadiannya itu berlangsung begitu saja. Tetapi setelah saya datang ke rumahnya, ibunya bilang, "anak ini sudah tidak sekolah lagi, dik. Kenapa, Bu? Sudah hamil," jelas Dewa yang juga merupakan anggota organisasi Forum Anak Nasional.

Dewa tahu upayanya tak akan mudah, karena praktik perkawinan anak terlanjur mengakar di masyarakatnya. Belum lagi ikatan pernikahan akibat "kenakalan" remaja.

Ia pun melakukan pendekatan kepada anak-anak dengan cara yang menyenangkan. Siswa SD hingga SMA diajaknya outbond dan bermain.

"Permainan deteksi. Itu melalui semacam kertas, nanti ditulis mimpi kamu apa, kemudian nanti di bawah ada tulisan kamu mau menikah umur berapa?" ujar Dewa. "Kalau anak itu menuliskan 20 tahun, kita tanya `kenapa sih, dik, kok 20 tahun menikah?` di situ kita lakukan edukasi secara konseling pribadi."

Hambatan berarti yang sejauh ini ditemuinya justru bukan datang dari anak-anak yang diajaknya berdiskusi, melainkan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama setempat yang mudah memberikan dispensasi kepada mempelai anak. Dewa yang kerap membantu mengusut kasus-kasus pernikahan anak, sempat bersitegang dengan kedua lembaga itu.

"Masih bentrok sama KUA waktu itu, masih adu argumen," ujarnya.

Meski demikian, upayanya perlahan membuahkan hasil.

"Saya minta data dari dinas BPPKB, kemudian saya survei apakah benar (sudah menurun)? Dan alhamdulillah benar, (tingkat perkawinan anak) mengalami penurunan 25% (dari tahun 2017)," pungkasnya.

`Dengarkan suara anak`

Indotang dan Dewa, keduanya pada Selasa (18/12) menerima penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, sebagai pelopor pencegahan perkawinan anak. Selain mereka berdua, ada juga sejumlah penerima penghargaan lain, yaitu Suroto asal Lombok Timur, Misran dari Nias, KPS2K Jawa Timur, dan Badingah, bupati Gunung Kidul.

Mereka dihargai atas upaya mencegah dan menekan angka perkawinan anak di wilayahnya masing-masing. Pasalnya, prosentasi perkawinan anak di Indonesia masih tergolong tinggi.

Terkait tingginya angka pernikahan dini ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan 18 kementerian lain dan 62 lembaga masyarakat menggalakkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak alias GEBER PPA.

Gerakan serupa sudah pernah diluncurkan November 2017 dengan judul kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak.

Hanya saja, menurut Lenny Rosalin, deputi menteri PPPA bidang Tumbuh Kembang Anak, tahun ini lebih banyak lembaga yang berkomitmen dan urun tenaga untuk menciptakan road map pencegahan perkawinan anak.

"Disusun bersama. Who does what , siapa melakukan apa, di tahun berapa, lokasinya di mana," ungkap Lenny kepada BBC News Indonesia, usai penyerahan penghargaan, Selasa (18/12). "Jadi, mulai dari tataran policy , tataran implementasi kegiatan teknis, (itu semua) kita lakukan."

Ia berharap, road map tersebut bisa menjadi solusi jitu menuju tahun 2030 status Indonesia Layak Anak.

"Kita harus memenuhi hak-hak anak di seluruh Indonesia ini yang jumlahnya 87 juta (jiwa)," tuturnya.

Menurut Lenny, ada paradigma yang kerap tak disadari para orang tua ketika menikahkan anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Sesungguhnya, orang tua tersebut telah merenggut hak-hak anak mereka.

"Karena dengan orang tua menikahkan, berarti ada unsur pemaksaan. Anak itu kan makhluk yang paling rentan. Harusnya tugas orangtua melindungi, memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, tapi malah dikawinkan," imbuhnya.

Hak-hak anak yang dimaksud adalah hasil ratifikasi dari Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989 yang dituangkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Hak tersebut antara lain hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak atas kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak untuk mendapat pendidikan, hak perlindungan khusus anak, serta prinsip nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Menurut Lenny, poin terakhir adalah hak yang seringkali tak diperhatikan masyarakat. Untuk itu, ia berharap, anak-anak dapat menyuarakan pendapat mereka.

"Negara kita sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 1990, apa salah satu prinsip di dalamnya? Yaitu mendengar suara anak. Jadi, inilah yang harus kita lakukan," pungkasnya.