Melongok Rumah Tua Cimanggis, Situs Sejarah Kolonial di Depok

Rumah Tua Cimanggis atau Gedung peninggalan gubernur jenderal Hindia Belanda, jenderal Albertus van Der Parra, di Depok, Jawa Barat.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Setelah ditetapkan sebagai situs cagar budaya, gedung peninggalan gubernur jenderal Hindia Belanda, jenderal Albertus van Der Parra, atau yang biasa disebut Rumah Tua Cimanggis, mulai terlihat lebih baik.

Padahal, sebelumnya bangunan yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1775-1778 itu terbengkalai dan nyaris ambruk.  

Ketua Umum Depok Herittage Community, Ratu Farah Diba, satu dari sekian peneliti dan ahli sejarah yang memperjuangkan situs bersejarah itu. Usahanya, kini mulai membuahkan hasil. Bangunan seluas 1.000 meter persegi itu bisa dinikmati oleh banyak pihak, tanpa harus takut roboh.

Ilalang dan rimbunnya pohon yang tadinya menutupi bangunan pun, kini telah bersih. Namun, Farah menegaskan, upaya pelestarian atas rumah bersejarah itu masih berlanjut.

“Langkah selanjutnya, kami berupaya agar bangunan ini direvitaslisasi. Saat ini, sedang dalam tahap pembahasan,” katanya, saat ditemui VIVA di rumah tua itu Sabtu 15 Desember 2018.

Upaya itu akan melewati sederet proses yang cukup panjang. Mengingat lahan, tempat bangunan itu berdiri, adalah milik Kementerian Agama. Dia berharap, Pemkot Depok dapat mensurati Kemenag, agar bangunan itu bisa dihibahkan.

“Setelah disepakati, kami ingin merivitalisasi, karena kalau restorasi itu kan harus seratus persen asli. Tetapi, kalau revitalsiasi bisa mendekati sampai 70 persen. Tentu, sebelumnya akan dilakukan kajian. Hasilnya akan menjadi rujukan, termasuk teknis pelaksanaannya nanti seperti apa,” katanya.

Rumah tua itu, katanya, memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi. Dibangun pada 1775-1778, rumah itu peninggalan Albertus van Der Parra untuk istri keduanya, yakni Yohanna van Der Parra. Menurut hasil kajian peneliti, ornamen di rumah itu terbilang langka di Indonesia, karena sangat modern pada zamannya.

“Di sini, ada empat kamar tidur. Di depan itu kamar utama dan kamar anaknya. Di ruang tengah ruang utama. Di belakang ruang keluarga. Yang membedakan kamar utama dan kamar anak bisa dilihat dari ornamen atau hiasan fentilasi di atas pintu yang berbentuk gambar bayi,” kata Farah.

Pada bagian belakang bangunan terdapat beranda yang dahulu digunakan oleh keluarga bangsawan itu untuk menikmati teh sambil melihat pemandangan yang tadinya adalah situ atau danau. Namun kini menjadi hamparan permukiman padat penduduk.

Sebelum disahkan sebagai cagar budaya, bangunan itu sempat diisukan bakal dirobohkan untuk kepentingan proyek pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Namun, belakangan pengembang proyek memastikan bangunan tetap terjaga dan tidak akan dirobohkan. (asp)