Gadis Cilik Balqis Tulis Surat untuk Jokowi tentang Nasib Ayahnya
- VIVA/Andri Mardiansyah
VIVA – Balqis Ufairah Syahira Nasution, gadis cilik di Kabupaten Pasaman, belum menyerah mencari keadilan atas nasib ayahnya yang terjerat masalah hukum gara-gara aksinya menolak aktivitas penambangan.
Bocah berusia sepuluh tahun siswi kelas SD Negeri 05 Tonang Raya, Dua Koto, Kabupaten Pasaman, itu beberapa waktu lalu menulis puisi tentang nasib ayahnya dan viral di media sosial. Dia kini mencoba jalan lain: mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo.
Balqis berencana mengirimkan surat tulisan tangannya langsung itu kepada Jokowi pada 1 Desember 2018. Dia berharap Jokowi membebaskan sang ayah, Mardiwal, dan keempat terdakwa lain dari segala tuntutan hukum.
Menurut Balqis, kelima terdakwa, termasuk ayahnya, yang dituduh sebagai provokator, sama sekali tidak bersalah. Bahkan, saat kerusuhan yang mengakibatkan dua kendaraan polisi dibakar, sang ayah sekali tidak berada di lokasi.
"Surat ini saya kirim ke Pak Presiden, agar ada keadilan untuk ayah dan teman-temannya. Saya berharap Pak Presiden bisa membebaskan ayah saya, karena saya butuh ayah di samping saya. Saya masih kecil," kata Balqis saat diwawancarai VIVA pada Jumat, 30 Desember 2018.
Sejak ayahnya ditangkap pada Agustus lalu, Balqis merasa sangat tertekan, bahkan trauma berat. Lagi pula Balqis sehari-hari sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan kini, jika mendengar bunyi sirine, Balqis cemas dan ingat tragedi ayahnya ditangkap polisi.
Kata Balqis, meski penulisan surat untuk Presiden dibantu sang Ibu dan beberapa aktivis lingkungan, sebagian besar kalimat itu berasal dari hati nuraninya. Balqis bertekda terus berjuang dan berusaha mendapatkan keadilan dan kebenaran, dengan jalannya sendiri.
Berikut isi surat Balqis untuk Presiden Jokowi.
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya bermohon pada Bapak Jokowi agar bisa membebaskan ayah saya dan keempat temannya dari jeratan hukum yang tidak mereka lakukan. Berawal dari permasalahan tambang emas yang dikelola oleh PT Inesco Jaya Makmur (IJM) di kampung kami yang ditolak kehadirannya karena tidak ada izinnya, Pak Presiden. Tapi kenapa ayah saya dan temannya yang hanya melindungi kampung kami justru malah dihukum? Apa kami salah, Pak Presiden? Di mana letak kesalahan kami, Pak Presiden?
Apakah kami harus kehilangan ayah karena ketamakan penguasa dan pengusaha, Pak Presiden? Apakah saya tidak pantas untuk hidup di kampung halaman kami sendiri, Pak Presiden? Tolonglah perjuangan kami warga Simpang Tonang, Pak Presiden. Saya masih kecil, Pak, saya masih butuh sosok orang tua untuk mendampingi masa kecil saya.
Saya masih butuh sosok ayah, Pak Presiden, dalam hidup saya. Kami hanya orang kecil, Pak. Di kampung kehidupan hanya petani, Pak, jadi tolong jangan ganggu kehidupan kami; kami sudah cukup nyaman dengan keindahan alam, sejuknya udara dan pegunungan yang indah.
Tolong, Pak Presiden, bebaskan ayah saya dan teman-temannya. Mereka berlima tidak bersalah, Pak Presiden Jokowi. Terima kasih atas pengertian Bapak, saya ucapkan terima kasih. #savesimpangtonang.
Dituduh biang kerok kerusuhan
Ayah Balqis, Mardiwal, dan empat warga Simpang Tonang, terpaksa berhadapan dengan hukum. Mereka kini menghadapi proses persidangan lantaran dituduh sebagai biang kerok kerusuhan penolakan aktivitas tambang emas PT Inexco Jaya Makmur (PT IJM) di Nagari Simpang Tonang, pada 23 Mei 2018.
Di antara kelima terdakwa, tuntutan untuk Mardiwal paling tinggi, yakni pidana penjara 2,5 tahun, sementara empat terdakwa lain dituntut pidana penjara dua tahun.
Mardiwal dituntut dengan hukuman paling berat karena dianggap provokator yang menyulut emosi warga, hingga mereka bertindak anarkistis membakar kamp dan dua kendaraan Polisi.
Sebelum persidangan perdana digelar, kuasa hukum kelima terdakwa yang berasal dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia sempat akan mengajukan proses praperadiilan. Namun karena jadwal sidang sudah keluar, upaya itu pun kandas.
Kuasa hukum menilai, agenda sidang terhadap kasus ini terbilang sangat cepat. Mungkin saja itu merupakan upaya untuk menggagalkan upaya praperadilan yang pada waktu itu diyakini akan menggugurkan segala tuntutan terhadap kelima terdakwa. (ren)