Hari Pahlawan: Siapa Saja dan ke Mana Para 'Ibu Bangsa'?

Presiden Soekarno menghadiri peringatan Hari Kartini di Istana Negara di tengah anggota organisasi gerakan perempuan pada 1953. - Bettmann/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Jika kita sudah mengetahui peran Soekarno-Hatta dan Sjahrir sebagai para founding fathers atau `Bapak Bangsa`, lalu siapa yang bisa kita sebut sebagai `Ibu Bangsa` dan kenapa tak banyak nama perempuan yang muncul dalam narasi masa lalu Indonesia, terutama di masa menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia?

Situs Wikipedia punya satu halaman khusus untuk ` ` menyebut ada 68 tokoh yang "memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa asing dan berperan dalam perumusan bentuk atau format negara yang akan dikelola setelah kemerdekaan".

Dari 68 tokoh ini, hanya 44 yang disebutkan namanya dan semuanya laki-laki.

Namun pencarian atas `Ibu bangsa` tak membuahkan hasil yang sama jelasnya seperti dengan entry `Bapak Bangsa`. Lalu siapa tokoh perempuan yang bisa masuk kategori itu dan kenapa tak ada kategori khusus untuk keterlibatan perempuan di masa menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia, spesifiknya antara 1942-1949?

Menurut peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif Ruth Indiah Rahayu, memang ada cara pandang penulisan sejarah di Indonesia yang diskriminatif dan didominasi teori politik.

"Yang disebut politik itu adalah yang formal, kelihatan, di mana pelakunya adalah laki-laki. Dominasi sejarah politik dalam historiografi kita lalu jadi terpengaruh, sehingga yang disebut sejarah adalah peristiwa-peristiwa formal yang berhubungan dengan politik formal yang kemudian yang muncul pelakunya adalah laki-laki," kata Ruth, Jumat (9/11).

Riset tentang masa lalu, kemudian menurut Ruth, akhirnya hanya menjadi riset tentang peristiwa dengan aktor-aktor politik laki-laki dan aktivitas yang melibatkan aktor-aktor perempuan kemudian tidak kelihatan.

"Saya contohkan saja, aktivitas politik perempuan itu kan banyak yang disebut garis belakang. Apa itu garis belakang? Yang pertama adalah kurir politik, itu pekerjaan intelijen. Itu luar biasa perempuan sebagai kurir politik, banyak perempuan digunakan untuk menerobos barikade tentara kolonial baik Jepang maupun Belanda. Itu pekerjaan sangat berbahaya dan penting dan memang mempertaruhkan nyawa, ini yang nggak kelihatan," kata Ruth.

Selain itu, pekerjaan politik perempuan dalam memimpin dapur umum - mulai dari penyiapan logistik pengumpulan makanan sampai memasak - dan keterlibatan perempuan dalam barisan laskar palang merah, tidak dianggap sebagai keterlibatan politik, melainkan aktivitas sosial.

"Ada tiga aktivitas politik penting perempuan, yang hanya karena dianggap garis belakang, dan karena tidak ada tokoh, kemudian itu dihilangkan dalam penulisan sejarah sebagai aktivitas politik. Padahal tanpa tiga aktivitas itu, maka makna peristiwa-peristwa politik itu tidak akan ada," kata Ruth.

Meski upaya menggali serta menuliskan sejarah masa lalu Indonesia yang melibatkan tokoh perempuan sudah dilakukan, namun menurut Ruth, belum ada pengakuan yang kuat dalam konteks historiografi nasional akan keterlibatan perempuan tersebut.

"Usaha ini masih sebagian kecil, belum hegemonik, masih sedikit-sedikit di kepala orang," ujarnya.

Selain adanya bias politik yang diskriminatif dalam penulisan sejarah, menurut Ruth, ada faktor lain yang juga berperan dalam hilangnya sosok tokoh perempuan Indonesia pada era pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan (1942-1949). yaitu stigma politik yang muncul pada politik sosialis.

Ruth mencontohkan sosok SK Trimurti dan Umi Sardjono.

"Umi Sardjono sama sekali nggak dikenal, nggak dicatat bahkan, karena sejak awal dia bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan Jepang, kemudian masuk Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), masuk PKI dan nantinya membangun Gerwani. Yang agak lebih dikenal SK Trimurti, lebih banyak pengakuannya."

"Dia dulu dari Gerindo pimpinan Amir Sjarifuddin, dalam geng itu dia mengorganisir buruh dan juga isu perempuan, membangun Barisan Buruh Wanita (BBW) dengan Umi Sardjono, dan dalam kabinet Amir Sjarifuddin dia jadi menteri perburuhan, tapi namanya tidak dicatat sebagai pahlawan karena dia masuk dalam kelompok Amir Sjarifuddin yang juga mendapat stigma dalam politik pengetahuan sejarah di Indonesia," kata Ruth.

Namun, peminggiran sosok perempuan dalam sejarah Indonesia juga terjadi pada sosok-sosok yang tidak terbebani oleh stigma politik sosialis, seperti pada Rasuna Said dan Siti Nafsiah, dua perempuan anggota BPUPKI di antara 46 orang lain. "Berarti ada apa ini? Ini barangkalai ada hubungannya dengan misoginis yang merasuk dalam cara pandang sejarawan yang didominasi oleh ," kata Ruth.

Selain itu, kontribusi organisasi perempuan pada 1950an yang mengusulkan agar persamaan hak laki-laki dan perempuan masuk pada penyusunan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) tidak pernah dicatat.

Begitu pula dengan sejarah gerakan perempuan yang tidak dianggap sebagai bagian dari sejarah nasional karena dianggap bukan politik, selain juga peminggiran karya sastra dari penulis perempuan di era itu, seperti S Rukiah Kertapati dan Sugiarti Siswadi.

Sementara itu, wartawan Historia, Nur Janti meneliti tentang sosok Maria Ulfah untuk program Ruang Perempuan dan Tulisan - yang mengumpulkan karya tulis dari perempuan yang tidak tercatat, terlupakan atau justru dihapus dari sejarah.

Nur Janti mengatakan bahwa Maria Ulfah bisa mencapai pendidikan tinggi dan menjadi perempuan Indonesia pertama yang menjadi sarjana di Belanda karena latar belakangnya dari keluarga ningrat yang melek pendidikan.

"Perempuan untuk menjadi pemeran utama dalam perjuangan masih sangat minim. Maria Ulfah salah satunya. Tapi kebanyakan bermula dari perjuangan tentang hak perempuan, baru kemudian ikut dalam perjuangan nasionalisme. Maria Ulfah berkawan dekat dengan Sjahrir dan sering tukar pikiran. Bahkan pemikiran Maria Ulfah soal kebangsaan juga dipantik oleh Sjahrir," kata Janti. Janti juga menemukan bahwa Maria Ulfah juga cukup progresif karena dianggap perempuan langka dan paling maju di masanya. Dia bisa terpilih sebagai anggota BPUPKI yang masuk ke panitia pembahasan UUD, salah satu usulannya adalah pasal 27 yang memberikan jaminan hak setara baik perempuan maupun lelaki, meski usulan Maria Ulfah sempat ditentang Soekarno.

"Kalau dibandingkan dengan tokoh lelaki atau rekan sejawatnya, Maria Ulfah jauh tidak terkenal. Dalam pelajaran sejarah di sekolah pun peran perempuan nggak banyak dibahas," katanya lagi.

Selain Maria Ulfah, ada juga sosok Charlotte Salawati (Salawati Daud) yang merupakan wali kota perempuan pertama di Indonesia, yaitu di Makassar, dari Partai Komunis Indonesia pada era pra-kemerdekaan.

Menurut peneliti Dhianita Kusuma Pertiwi yang menelaah tentang sosok Salawati di Ruang Perempuan dan Tulisan, Salawati menjadi politisi perempuan yang aktif dalam upaya pencapaian keseteraan hak gender yang bisa dilihat dari tulisan-tulisannya.

Selain itu, menurut Dhianita, "Dia ikut pendidikan keperawatan untuk membantu memecahkan permasalahan kurangnya perhatian terhadap ibu hamil dan melahirkan. Bahkan ia tidak ragu untuk terjun ke lapangan dan menangani masalah yang terjadi di daerah Makassar, seperti menghadapi Westerling dan Kahar Muzakkar secara langsung."

Dalam kasus Salawati, menurut Dhianita, penghapusan namanya tidak bisa dipisahkan dari peristiwa 1965-1966.

"Dia menjadi salah satu tahanan politik yang dituduh berhubungan dengan peristiwa G30S dan dipenjara di Bukit Duri. Pasca-pembebasannya pada tahun 1978 dan sampai meninggal, dia tidak pernah mendapatkan kembali haknya secara penuh, misalnya hak pensiun.

Bahkan perannya sebagai walikota Makassar sempat dihapuskan, terbukti dari tidak ditemukannya foto Salawati di museum Makassar," kata Dhianita.