Rambut Pete hingga Telepon Tempe: Menilik Kampanye Sandiaga di Medsos
- bbc
Satu bulan kampanye, Sandiaga Uno, calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo, menjadi kandidat yang paling agresif di media sosial dengan unggahan dua kali lebih banyak dibanding kubu Jokowi-Maruf. Apa kontennya tepat menyasar anak muda? Atau hanya representasi dangkal saja?
Data analisa media sosial CrowdTangle sebulan terakhir menunjukan bahwa Sandiaga menerbitkan rata-rata sekitar 149 unggahan di Twitter, Instagram, dan Facebook. Ini berarti hampir lima kali unggah di tiga media sosial itu.
Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan Joko Widodo misalnya yang rata-rata mengunggah 70 kali, atau sekitar dua unggahan per platform.
Walau Sandiaga gencar, namun dalam jumlah interaksi Joko Widodo jauh lebih unggul karena didorong oleh jumlah pengikut yang jauh lebih banyak.
Masa kampanye dimulai pada 23 September 2018 dan berakhir 13 April 2019 mendatang.
Banyak publikasi dan riset menyebut bahwa media sosial adalah kunci penting untuk menaikkan popularitas dan interaksi dengan pemilih muda, karena itu tak heran jika para kandidat berupaya merepresentasikan diri sebagai kandidat milenial, kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, Hurriyah.
Keagresifan Sandiaga, menurut Hurriyah wajar, karena dia cakap berinternet dan memang senang berbagi. Berbeda dengan Prabowo dan Ma`ruf Amin yang pendekatannya lebih kaku. Di media sosial, sambungnya, adalah Jokowi dan Sandiaga yang aktfi berebut panggung.
Dalam sejumlah laporan, kubu Prabowo dan Sandiaga memang memprioritaskan kampanye di media sosial. Selain aktif lewat akun medsos kandidat, mereka juga menggaungkan tagar `2019 ganti presiden` dan memberdayakan jangkauan juru kampanye muda.
Bedanya, kalau Sandi menggunakan pendekatan yang lebih gaul, Jokowi memposisikan dirinya sebagai figur merakyat dan dekat dengan keluarga.
` Tidak substantif `
Tapi secara umum, kampanye media sosial yang kini dilakukan empat kandidat sayangnya tidak punya konten yang `berisi`.
"Saya melihat dalam kasus Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, politik elektoral kita tidak pernah ada narasi substansif. Sebatas klaim identitas, ini yang paling gaul, ini yang paling merakyat. Lebih untuk membangun citra. Masing-masing berlomba memperlihatkan siapa yang paling dekat dan diterima dalam kelompok tertentu," sambung Hurriyah.
Inilah yang menjelaskan kenapa konten-konten para politisi di media sosial cenderung ikut tren: tampilkan foto-foto yang ikut-ikutan membuat video `seberapa greget` dan mengunggah foto aktivitas keluarga (dengan istri, anak, ibu, hingga cucu).
"Soal tren saja, karena terbukti populer. Apapun yang populer di media sosial, sereceh apapun akan dimanfaatkan untuk menaikkan popularitas. Dengan menaikkan popularitas diharapkan elektabilitasnya naik," kata Hurriyah.
Total interaksi (jumlah likes, share, love, retweet, dll) dalam beberapa platfom media sosial. (Angka dalam ribuan) - BBC
Rosa Vania Setowati, Koordinator Kajian Muda Pamflet, merasa unggahan semacam itu hanya untuk `seru-seruan` saja, tapi tidak menunjukan bahwa kandidat tersebut berkualitas.
"Bisa seru-seruan seperti itu tetapi harus dibarengi dengan isi yang mengena," katanya.
Dalam hal substansi, misalnya, Vania mengaku ingin mendengar soal bagaimana kandidat punya perhatian pada keberagaman dan pendidikan, khususnya misal pemberian beasiswa tepat sasaran atau bagaimana perempuan muda bisa melanjutkan sekolah ke jenjang tinggi - tidak melulu soal anak muda yang didorong untuk jadi pengusaha atau membuat
Sementara kajian Puskapol UI menyebut bahwa selain pendidikan, anak muda juga membutuhkan ruang-ruang berekspresi.
Vania menampik pandangan bahwa anak muda sulit dirangkul dengan konten-konten yang serius, dan cenderung lebih gemar hal-hal yang populer.
"Sebetulnya kita punya pandangan politik sendiri, dan peduli dengan masalah yang lebih besar seperti korupsi dan kemiskinan di daerah kita," katanya.
"Kelihatannya tidak kritis, tapi sebetulnya kritis. Hanya saya dalam pendidikan politik, di kampus atau sekolah misalnya, kita tidak tidak diberikan keleluasan menentukan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan."