Pesantren Lirboyo: Bendera Tauhid Hanyalah Kedok Gerakan Terlarang

Demonstrasi pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jakarta beberapa waktu silam. Organisasi itu kini sudah dilarang pemerintah.
Sumber :
  • VIVA/ Muhamad Solihin

VIVA – Dewan Rois Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, M Mubasyar Bih, memberikan pendapatnya tentang polemik pembakaran bendera berlafaz kalimat tauhid di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Menurut Mubasyar, pembakaran itu pada dasarnya tidak salah. Bahkan, jika ditinjau dari pandangan fikih (yurisprudensi Islam) dan sejarah Islam, tindakan itu bisa dibenarkan dan ada beberapa presedennya di masa lampau.

Dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA pada Rabu, 24 Oktober 2018, Mubasyar menengarai bendera-bendera berlafaz kalimat tauhid itu sesungguhnya hanyalah kedok sebuah gerakan terlarang.

"... dapat kita simpulkan bahwa bendera tauhid hanyalah kedok dari gerakan terlarang di negeri ini. Tindakan membakar hakikatnya bukan melecehkan kalimat tauhid, namun untuk menyelamatkannya dari kepentingan yang tercela," katanya.

Mubasyar dalam pertimbangannya mengingatkan, telah terjadi penyimpangan fungsi kalimat tauhid yang awalnya simbol keesaan Allah. Namun oknum tertentu menjadikan simbol itu untuk kepentingan politik dan lambang identitas mereka.

"Golongan ini biasa dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu gerakan separatis yang secara tegas telah dilarang oleh pemerintah," kata Mubasyar.

Dia menyitir pendapat Hasyim Asy'ari dalam kitab Tanbihat al-Wajibat: "Sesungguhnya menggunakan sesuatu yang diciptakan untuk diagungkan, untuk difungsikan pada hal yang tidak diagungkan, adalah hal yang haram.“

Mengalihfungsikan kalimat tauhid untuk kepentingan organisasi yang terlarang, berdasarkan pendapat pendiri Nahdlatul Ulama itu, adalah bentuk perbuatan yang tegas diharamkan oleh syariat. Sebab perbuatan itu saja sudah dipandang menghina kalimat tauhid.

Bendera berlafaz tauhid dalam konteks polemik pembakaran di Garut itu, menurut Mubasyar, hakikatnya bukan lambang yang mewakili umat Islam secara kesuluruhan, bahkan merupakan lambang pemicu berbagai perpecahan bangsa. Sebab telah difungsikan sebagai lambang golongan tertentu yang telah dilarang oleh pemerintah.

Masa Nabi dan Khalifah Ustman

Mubasyar menjelaskan, peristiwa semacam itu sesungguhnya juga terjadi dalam ingatan sejarah umat Islam saat Masjid Dhirar dihancurkan dan dibakar oleh Nabi Muhammad. Rasulullah, katanya, melakukan itu setelah mengetahui bahwa masjid tersebut dibuat oleh kaum yang berupaya memecah belah umat Islam.

Dia menyitir pendapat Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi: "Para Ulama berkata: Jika masjid saja yang diciptakan untuk ibadah dan syariat menganjurkan untuk membangunnya berubah menjadi dihancurkan karena terdapat kemudaratan, lantas bagaimana pendapatmu pada hal selain masjid? Jelas lebih pantas untuk dihilangkan dan dihancurkan."

Penting juga dicatat, katanya, tentang sejarah khalifah Utsman yang membakar mushaf Alquran untuk tujuan menjaga keautentikan Alquran. Sebab mushaf yang ia bakar adalah mushaf-mushaf yang bercampur antara ayat yang mansukh (disalin) dan ayat yang tidak mansukh.

"Khawatirnya jika mushaf-mushaf itu dibiarkan," Mubasyar menguraikan, "banyak orang akan berpendapat bahwa lafaz yang bukan merupakan bagian dari Alquran dianggap sebagai bagian dari Alquran. Hal ini jelas akan berpengaruh pada keautentikan Alquran itu."

Berdasarkan peristiwa itu, para ulama ahli fikih berpandangan bahwa membakar Alquran jika bertujuan untuk menjaga kehormatan Alquran adalah hal yang diperbolehkan.

"Dengan demikian," dia menyimpulkan, "hukum membakar bendera tauhid adalah hal yang diperbolehkan, bahkan merupakan cara yang paling utama bila hal tersebut lebih efektif untuk menghentikan provokasi dari gerakan terlarang di negeri ini." (ase)