Terdakwa Suap DPRD Kota Malang Kompak 'Serang' Wali Kota Sutiaji
VIVA – Sidang perkara suap dengan 18 terdakwa eks anggota DPRD Kota Malang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya di Raya Juanda Sidoarjo, Jawa Timur, kembali digelar pada Rabu, 17 Oktober 2018. Tujuh saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, di antaranya Wali Kota Malang yang baru dilantik, Sutiaji.
Sutiaji dimintai keterangan sebagai saksi dalam statusnya sebagai mantan Wali Kota Malang, kala peristiwa suap pembahasan APBD Perubahan 2015 terjadi. Saat itu, Wali Kota Malang dijabat oleh Mochammad Anton. Bersama Djarot Edy Sulistiono dan M Arief Eicaksono, perkara Anton (berkas terpisah) sudah inkracht dan kini menjalani hukuman.
Dalam sidang, Sutiaji dihadirkan bersamaan dengan enam saksi lainnya, di antaranya Sekretaris Kota Malang, Cipto Wiyono. Kepada para saksi, JPU beberapa hal terkait kehadiran para saksi dalam rapat pembahasan APBD-P bermasalah itu. Hal yang menarik ketika jaksa menanyakan istilah THR yang menyela dalam rapat.
Jaksa mengonfirmasi istilah akronim dari Tunjangan Hari Raya itu untuk mensinkronkan istilah suap yang dipakai pada suap massal tersebut, yakni uang Pokir (pokok pikiran), uang sampah dan jasmas. "Istilah THR itu apa maksudnya?," kata jaksa Arif Suhermanto.
Jaksa menyebut istilah itu muncul saat sidang atau rapat di gedung DPRD Kota Malang pada 6 Juli 2015. Saksi Cipto Wiyono mengatakan bahwa yang dimaksud uang THR ialah uang Pokir. "Waktu itu, kan, menjelang hari raya, jadi sebutan uang pokir itu ya THR," ungkapnya
Debat kusir terjadi kala saksi Sutiaji mengaku tidak tahu soal uang THR tersebut. Bahkan, dia mengaku baru tahu istilah uang pokir saat dijadikan saksi di Pengadilan Tipikor. "Saya justru baru tahu istilah pokir, jasmas, dan sebagainya di sidang ini," katanya.
Sutiaji mengakui pernah hadir dalam rapat dewan saat membahas proyek multiyears Jembatan Kedungkandang. Tetapi dia membantah hadir dalam rapat dewan yang digelar pada 6 Juli 2015. Karena itu dia mengaku tidak tahu-menahu soal pembahasan uang THR maupun uang pokir.
Jawaban Sutiaji langsung mendapatkan respons dari para terdakwa. "Di sini ada saksinya, begitu selesai dari ruangan usai pembahasan, saya tak sempat menyalami, lalu yang bersangkutan (wawali) bilang 'riyoyone wes beres'," kata terdakwa Sukarno, diamini beberapa terdakwa lainnya.
Usai sidang, Sutiaji menegaskan bahwa rapat dewan yang dihadirinya adalah saat membahas proyek multiyears Jembatan Kedungkandang. Dia juga menegaskan tidak tahu soal THR. "Saya berusaha apa adanya," ucapnya.
Sementara itu, Jaksa Arif Suhermanto mengatakan setiap saksi memiliki hak memberikan keterangan apapun. Tapi jaksa pasti akan mencocokkan dengan bukti dan keterangan saksi lain untuk menguji apakah keterangan tersebut benar atau bohon. "Dan setiap keterangan saksi itu memiliki konsekuensi hukum," ujarnya.
Termasuk pada keterangan Sutiaji dalam sidang yang mengaku tak hadir pada rapat dewan pada 6 Juli 2015 dan tak tahu-menahu soal istilah THR dan uang pokir. Jaksa Arif mengatakan, pihaknya memiliki bukti risalah dan absensi kehadiran Sutiaji dalam rapat di tanggal tersebut. "Kami ada bukti risalahnya," ujarnya.
Apakah KPK akan mengembangkan fakta yang tersaji dalam persidangan guna mencari tahu siapa saja yang sebetulnya terlibat namun belum tersentuh, Jaksa Arif mengaku semua fakta yang diperoleh di persidangan akan dalami. Siapapun yang terlibat, sebagaimana prinsip equality before the law, sama di mata hukum.
Perkara suap massal di lingkungan DPRD Kota Malang yang menyebabkan 41 legislator jadi pesakitan terkait suap pembahasan APBD Perubahan pada 2015 silam. Selain legislator, KPK juga menjerat Wali Kota Malang saat itu, Mochammad Anton, eks Kadis PU Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono, dan mantan Ketua DPRD setempat, M Arief Wicaksono. Perkara ketiganya sudah inkracht dan kini menjalani hukuman.