Ketika Sampah Plastik Kresek Diubah Jadi Bahan Pembuatan Aspal

Kantong plastik atau sering disebut plastik kresek banyak digunakan masyarakat Indonesia. Namun, setelah digunakan, plastik tersebut kerap dibuang di sungai atau dibakar yang mencemari lingkungan. - Antara/MUHAMMAD ADIMAJA
Sumber :
  • bbc

Di Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah setempat berupaya mengurangi sampah plastik dengan mengubahnya menjadi aspal jalan. Apakah cara ini efektif?

Sudah dua pekan terakhir, Tiara membawa plastik kresek ke sekolahnya di SMP Negeri 1 Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Bagus untuk pengelolaan sampah ketimbang sampah plastiknya tak berguna di rumah mending dibawa ke sekolah," katanya.

Kegiatan Tiara ini sejalan dengan imbauan Arif Prastowo, selaku kepala Dinas Lingkungan Hidup Kulonprogo, agar semua pelajar di kabupaten itu mengumpulkan plastik kresek.

Dalam hitungannya, ada 70.000 pelajar di Kulonprogo, mulai dari SD-SMA atau sederajat. Jika setiap hari semua pelajar membawa satu plastik kresek, diharapkan dalam sebulan ada dua juta lebih plastik kresek yang terkumpul.

"Ini juga pembelajaran kepada siswa sejak usia SD agar peduli kepada lingkungan untuk mengelola plastik secara benar. Tidak dibuang, tapi dibawa ke sekolah lalu kami ambil dan kami setorkan ke Bank Sampah," kata Arif, sebagaimana dilaporkan wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan.

Mengubah plastik menjadi bahan aspal

Imbauan pengumpulan plastik kresek mengemuka ketika Kabupaten Kulonprogo mendapatkan proyek perbaikan jalan nasional.

Pada saat bersamaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat punya inovasi mengubah plastik kresek menjadi bahan campuran aspal. Dari hasil kajian Kemeterian PUPR, campuran plastik kresek bisa membuat aspal lebih kuat dan umurnya lebih panjang.

Menurut Arif, Kementerian PUPR meminta Dinas Lingkungan Hidup Kulonprogo menyediakan plastik kresek sebanyak 8,5 ton. Plastik itu akan digunakan bahan campuran aspal yang bisa untuk mengaspal jalan sepanjang lima kilometer.

"Tawaran itu kami sambut positif karena sejalan dengn kebijakan pengurangan plastik kresek," imbuhnya.

Kepala Bidang Marga Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Kawasan Pemukiman (PUPKP) Kulonprogo, Nurcahyo Budi Wibowo, menyatakan, pengaspalan jalan yang menggunakan bahan campuran plastik, berada di ruas Sentolo, Dekso, Klangon.

Budi menyebutkan pengerjaannya masuk kategori jalan provinsi dan langsung dipegang Satker Jalan Nasional di bawah Kementerian PUPR. Anggarannya, lanjut Budi, sekitar Rp60 miliar untuk jalan sepanjang 26 kilometer.

Berdayakan bank sampah

Selain melibatkan para pelajar, Kabupaten Kulonprogo juga memberdayakan bank sampah untuk mewujudkan proyek mengubah plastik kresek menjadi bahan pembuatan aspal.

Kabupaten Kulonprogo memiliki 94 bank sampah. Tapi cuma 37 saja yang aktif. Sisanya, menurut Arif, tidak aktif atau sudah mati. Proyek aspal berbahan campuran sampah plastik kresek, adalah kesempatan untuk kembali mengaktifkan dan memberdayakan bank sampah.

Bank Sampah, kata Arif, harus menerima setoran plastik kresek dari pihak sekolah. Bank sampah kemudian harus menyediakan tabungan untuk anak-anak sekolah yang menyetorkan sampah.

Arif Prastowo membayangkan, seandainya 70.000 siswa di Kulonprogo datang ke sekolah dengan membawa sampah, pemerintah Kulonprogo sudah bisa menyelesaikan persoalan sampah hampir separuh jumlah Kepala Keluarga di Kulonprogo yang mencapai 120.000 KK.

"Kita bayangkan ini jadi gerakan cukup massal melalui sekolahan," katanya.

Secara finansial, ada keuntungan yang didapatkan siswa meskipun cuma Rp500 setiap 1 kg plastik. Tapi, menurut Arif, jumlah itu akan menjadi lebih banyak dan dalam satu tahun sekolah bisa mendapatkan banyak tabungan.

"Selama ini masyarakat pada umumnya belum paham, ada pengetahuan tapi belum memadai. Perangkatnya memang kurang menyentuh ke sana. Tapi dengan adanya program ini (aspal), harapannya masyarakat bisa paham," tuturnya.

Mencacah plastik

Salah satu bank sampah yang diberdayakan adalah Dhuawar Sejahtera yang terletak di Dusun Kroco, Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih. Tempat itu terpilih menjadi bank sampah induk pengelola limbah plastik kresek.

Di bangunan berukuran 6 X 12 meter tersebut semua limbah plastik kresek dari semua sekolah di Kulonprogo dicacah menjadi kecil-kecil yang nantinya menjadi bahan campuran aspal.

Dari luar, Bank Sampah Dhuawar Sejahtera terlihat sepi. Beberapa karung sampah tergeletak di depannya. Ketika mendekatinya, suara bising mesin terdengar menderu-deru.

Dari teralis bangunan, tampak seorang lelaki mengenakan masker berwarna hijau. Tangan kanannya sibuk memasukkan plastik kresek ke dalam sebuah mesin, sementara tangan kirinya memegang tuas mesin.

"Ini mesin pencacah plastik," kata Saridjan, 47, sambil membetulkan masker yang dikenakannya.

Saridjan adalah tenaga operasional di Bank Sampah Induk Dhuawar Sejahtera. Siang itu dia bertugas mengoperasikan mesin pencacah plastik kresek bersama seorang temannya, Jemiyo, 50.

Seorang perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Febriyanti menjelaskan aktivitas bank sampah yang dikelolanya itu.

Febriyanti mengaku mengerjakan progam aspal dengan campuran plastik kresek sejak awal bulan lalu. Sudah ada sekitar satu ton sampah plastik kresek yang dia terima. Sampah itu dia dapatkan dari semua sekolah di seluruh Kulonprogo.

"Tahap pertama kemarin pada akhir Agustus dan awal September, ada sekitar satu ton sampah plastik kotor," katanya.

Dari sekolah, sampah itu dikumpulkan di Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) setiap kecamatan. Sampah lalu dibawa ke Bank Sampah terdekat untuk ditimbang.

Setelah dicatat timbangannya dalam tabungan sampah, baru dikirimkan ke Bank Sampah Induk Dhuawar Sejahtera yang dipimpinnya untuk dipilah dan diolah menjadi kecil-kecil.

Tidak semua plastik kresek bisa menjadi bahan campuran aspal, hanya plastik kresek yang tipis dan mengkilap.

Febriyanti harus memilahnya terlebih dahulu dan membersihkan plastik dari berbagai macam logam. Tak jarang, plastik-plastik kresek yang terkumpul berisi logam seperti paku atau uang recehan serta batu kecil.

"Kalau ada logam atau batu bisa merusak mesin pencacah," katanya.

Setelah dicacah, plastik akan dibeli Dinas Pekerjaan Umum. Febriyanti belum menentukan harga plasik cacahan perkilonya, dia memperkirakan sekitar Rp3.000.

"Rencananya sekitar tiga ribu, karena alat pencacah plastik dan listriknya merupakan bantuan dari Dinas PU," katanya.

Sejak awal beroperasi sampai pertengahan bulan, Febriyanti mengaku baru mendapatkan 10 kantong besar dengan taksiran timbangan sekitar 100 kg. Kendalanya adalah mesin yang pengoperasiannya tidak bisa maksimal karena mesin harus diistirahatkan 15 menit setelah 1 jam beroperasi.

"Normalnya, satu jam mendapatkan 10 kg," kata Saridjan.

Febriyanti yang sudah lama mengelola sampah di Bank Sampah Dhuawar Sejahtera, mengakui kesadaran masyarakat Kulonprogo mengelola sampah belum maksimal. Padahal sampah memiliki banyak manfaat jika bsia dikelola.

"Di sini saja, kita butuh setahun untuk mensosialisasikan bank sampah ke masyarakat."

Dengan pengelolaan sampah, masyarakat juga mendapatkan banyak keuntungan, mengolah sampah menjadi kerajinan dan masyarakat punya rekening sendiri dari tabungan sampah.

Rencana ke Depan

Setelah sampah plastik terkumpul dan jalanan dengan aspal mulus sudah membentang, pelibatan para pelajar dan bank sampah akan tetap dilakukan, kata Arif Prastowo, kepala dinas lingkungan hidup Kulonprogo.

"Pascaplastik kresek itu nanti, program ini tetap berjalan. Dan seterusnya nanti tidak hanya plastik kresek, tapi ada juga kertas, kaleng dan semuanya bekerja sama dengan bank sampah," ujarnya.

Dalam praktiknya, tidak semua pelajar membawa plastik setiap hari ke sekolah. Seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Pengasih, Kulonrogo.

Ambar Gunawan, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Pengasih, mengaku mengalami kesulitan meminta siswanya membawa plastik kresek ke sekolah.

"Kalau SD atau SMP mungkin ketaatannya bagus, tapi untuk SMA ada kendala atau memang di rumah tidak ada plastik kresek," katanya.

Padahal Ambar mengaku sudah memberikan pengumuman kepada seluruh jajaran sekolah, terutama siswanya yang untuk mengumpulkan tas kresek bekas di sekolah. Mereka boleh membawa setiap hari atau membawa pada saat tas kresek akan diambil pihak kecamatan.

Di SD Negeri 2 Pengasih, pengumpulan plastik kresek juga tidak berjalan maksimal. Tidak semua murid membawa. Malahan ada siswa yang membawa plastik kresek baru karena takut diamrahin guru jika tidak membawa.

"Ada siswa yang malah mengumpulkan plastik kresek baru," kata Sumiyono, Kepala Sekolah SDN 2 Pengasih.

Nadin, siswi SDN 2 Pengasih, mengaku, belum pernah mengumpulkan sampah plastik kresek ke sekolah. "Di rumah tidak ada plastik," katanya.

Petrus Setia Wibawa, guru SMP Negeri 1 Sentolo, yang juga menajdi koordinator lingkungan di sekolah itu, memandang program yang digalakkan pemerintah untuk mengatasi persoalan sampah plastik kresek sudah baik.

"Hanya saja saya kurang optimis kalau itu bisa berjalan dalam waktu panjang, kalau sifatnya cuma insindentil mungkin bisa," kata Petrus. "Mungkin anak-anak juga akan merasa bosan atau kurang tertarik," imbuhnya.

Membenahi Masalah Plastik di Hulu

Rendahnya kesadaran pelajar akan pentingnya pengelolaan sampah plastik harus ditanggapi pemerintah Kabupaten Kulonprogo dengan komitmen yang kuat.

Karena itu, Ambar Gunawan, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Pengasih, berharap program pengelolaan sampah plastik tidak hanya sebatas proyek jalan aspal mengingat persoalan sampah di Kulonprogo harus serius ditangani.

Arif Prastowo, selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kulonprogo, mengatakan pemerintah kabupaten sedang mempertimbangkan untuk menghimbau toko atau warung untuk tidak mudah memberikan plastik. Jika perlu, akan ada sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan.

Sambil membersihkan plastik dari kotoran dan logam, Febriyanti selaku Direktur Bank Sampah Induk Dhuawar Sejahtera, menyambut baik rencana tersebut.

Menurutnya, masalah sampah plastik lebih baik tidak hanya dibenahi di hilir, tapi juga di bagian hulu.

Dia juga berharap, masyarakat Kulonprogo memiliki budaya baru, budaya mengelola sampah.