Adik Amrozi Anggap Kualitas Teror di Indonesia Kian Turun
- BNPT
VIVA – Mantan kepala instruktur perakitan bom Jemaah Islamiah Jawa Timur, Ali Fauzi Manzi, menilai kualitas teror di Indonesia akhir-akhir ini kian menurun. Sejak tahun 2010, katanya, tidak ada lagi bom berdaya ledak tinggi.
"Penurunan kualitas teror terjadi karena sumber daya manusia dan dana yang semakin terbatas," katanya di Malang, Jawa Timur, pada Rabu, 18 Juli 2018.
Adik kandung bomber Bali, Amrozi dan Ali Imron, itu mencatat bahwa sebelumnya teror bom hampir selalu dengan bom berdaya ledak besar dan mematikan. Pelakunya pun orang profesional yang dilatih militer, seperti bom Bali dan bom besar lain, yang diracik oleh veteran perang Afghanistan.
"Sekarang bom dibuat secara otodidak atau belajar di internet, seperti bom lempar berhulu ledak di Pasuruan dan bom panci di Indramayu, pelaku tak profesional dan (tidak) dilatih khusus," ujar Ketua Lingkar Perdamaian itu.
Beberapa fakta itu menunjukan bahwa pelaku teror di Indonesia sebenarnya tidak memiliki dana besar untuk membuat bom dengan kekuatan besar. Salah satunya bom di Pasuruan yang diduga meledak saat terduga pelaku tengah merangkai bom.
Ali menengarai si pelaku akan membuat bom paralel, namun dia tak memiliki pengalaman dan keterampilan memadai sehingga meledak dan mengenai bocah enam tahun.
Si terduga teroris itu pun residivis. Dia sengaja mengulangi perbuatan teror karena masih terhubung dengan jaringannya.
Ali Fauzi kini berfokus merangkul bekas napi terorisme dan bekas kombatan dalam Lingkar Perdamaian. Dia ingin memutus jejaring lama agar tak kembali melakukan teror. Bekas napi teroris itu harus dibekali keterampilan atau bekerja di berbagai sektor agar tak kembali tergoda melakukan teror.
"Usaha deradikalisasi tak bisa dilakukan sendiri oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; harus melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan," katanya.
Sejauh ini, dia berpendapat, tak ada alat yang efektif untuk menyembuhkan hati dan akal bekas atau pelaku teror. Maka dibutuhkan kolaborasi dengan bekas napi teroris dengan otoritas terkait. Dia mengibaratkannya dengan penyakit komplikasi. Maka, katanya, "mendiagnosisnya harus tepat sehingga dosis yang diberikan juga tepat."