KPK Sebut Eni Saragih Diduga Sudah Terima Suap Rp4,8 Miliar

KPK membeberkan barang bukti kasus suap anggota DPR RI, Eni Maulani Saragih
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil mengamankan uang Rp500 juta dalam operasi tangkap tangan di Jakarta terkait dugaan tindak pidana korupsi kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 yang dilakukan oleh Erni Maulani Saragih, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat.

"Penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada EMS dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," kata Wakil Ketua KPK, Basariah Panjaitan di kantornya, Jakarta Selatan, Sabtu, 14 Juli 2018.

Ternyata, politikus Golkar tersebut tidak kali itu saja diduga menerima fee atau hadiah dari proyek pembangunan PLTU Riau. Tapi, sebelumnya juga yang bersangkutan diduga telah menerima uang jumlahnya mencapai miliar rupiah.

"Diduga penerimaan kali ini merupakan penerimaan ke-4 dari pengusaha JBK kepada EMS, dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar," jelasnya.

Dengan rincian, uang yang diduga diterima Erni Maulani Saragih pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar. Kemudian Maret 2018 Rp2 miliar, dan yang ketiga pada 8 Juni 2018 Rp300 juta.

"Diduga uang diberikan oleh JBK kepada EMS melalui staf dan keluarga. Diduga peran EMS adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1," katanya.

Akhirnya, KPK menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu Erni Maulani Saragih bersama Johannes Budisutrisno Kotjo dalam kasus dugaan korupsi proyek PLTU Riau tersebut.

Anggota DPR Eni Maulani Saragih diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

Sementara itu, JBK disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.