Polri Anggap Amnesty International Tak Adil soal Kekerasan di Papua
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A
VIVA – Polri menganggap hasil investigasi Amnesty International tak adil mengenai data kasus kekerasan di Papua. Sebab aparat menilai Amnesty tak melihat berapa banyak prajurit Polri dan TNI yang menjadi korban kekerasan di sana.
Amnesty International menyatakan bahwa ada dugaan kekerasan hak asasi manusia oleh aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua dan Papua Barat. Dalam laporan Amnesty International, ada 69 kasus dengan 95 orang menjadi korban pembunuhan di luar hukum dalam kurun waktu 2010-2018 di dua wilayah itu.
"Apakah dia (Amnesty International) hanya melihat aktivis saja; masyarakat yang lain bagaimana; Polisi yang di sana bagaimana, apakah polisi bukan manusia, TNI bukan manusia—yang fair (adil), dong," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto merespons rilis Amnesty International di Jakarta, Senin, 2 Juli 2018.
Amnesty International, kata Setyo, mestinya juga mengungkapkan data jumlah aparat penegak hukum yang menjadi korban kekerasan di Papua dan Papua Barat. Semua itu juga melanggar hak asasi manusia karena aparat pun manusia.
Setyo meminta masyarakat melihat kasus per kasus ketika aparat melakukan proses hukum di Papua. Polri memiliki dan selalu mengikuti standar operasional prosedur dalam bertugas.
"Kalau polisi tak bertindak, malah polisi yang salah. Sebagian besar anggota Polri Papua, Brimob, Kapolres, Kasat Sabhara, saya tidak yakin kalau mereka membunuh saudaranya," katanya.
Ia menegaskan, anggota Polri tak dilatih menjadi seorang pembunuh, tapi justru menjadi sosok pelindung masyarakat. Memang dalam bertugas ada kewenangan melakukan tindakan tegas namun terukur bila melihat situasi yang mengancam.
"Kalau kami menghadapi ancaman yang sejajar pasti kami harus melakukan tindakan tegas dan terukur. Itu juga dilindungi undang-undang," ujarnya.