Gerakan #KeadilanUntukBunta Soroti Tewasnya Gajah di Aceh

Semasa hidupnya, Bunta banyak membantu BKSDA Aceh menggiring gajah luar yang berkonflik di berbagai tempat. - AFP/Getty Images/Al Mahdi
Sumber :
  • bbc

Foto tewasnya Bunta, gajah jinak di daerah konservasi di Desa Bunin, Lokop, Aceh, menjadi viral. Menurut pegiat lingkungan, foto tersebut memperlihatkan fenomena pemburu yang kini menyasar gajah jinak untuk diburu gadingnya daripada gajah liar.

Dalam foto tersebut, Bunta ditemukan mati dengan gading terpotong. Dia diduga diracun oleh pemburu.

Yang menarik, Bunta bukan gajah liar. Semasa hidupnya, dia banyak membantu BKSDA Aceh menggiring gajah luar yang berkonflik di berbagai tempat.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh menawarkan hadiah Rp30,5 juta bagi siapa yang bisa memberi info mengenai siapa pembunuh Bunta.

Bunta ditemukan mati Sabtu (9/6) pagi dengan pipi sebelah kiri terdapat luka bekas bacokan, dan gading kiri hilang.

Tim dokter hewan Badan Konservasi Sumberdaya Alam atau BKSDA Aceh telah membedah dan mengambil sampel organ tubuh gajah Bunta untuk diuji laboratorium.

Sebuah unggahan di akun media sosial tidak resmi milik mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menawarkan imbalan Rp100 juta "bagi yang dapat memberikan informasi akurat yang dapat mengarahkan aparat penegak hukum untuk menangkap pelaku".

Unggahan tersebut disebar hampir 400 kali.

Di media sosial, muncul tagar #KeadilanUntukBunta, #temangajah, dan #burupemburu untuk menyoroti tewasnya gajah tersebut.

Selain itu, di situs Change.org yang menuntut pengusutan "Pembunuhan Keji #gajahBunta dan percepat Revisi UU Konservasi 5/1990". Petisi tersebut sudah mengumpulkan lebih dari 20.000 tanda tangan dari targetnya 25.000 orang.

Menurut petugas komunikasi wilayah Sumatera bagian utara di lembaga lingkungan World Wildlife Fund (WWF), Chik Rini, kematian Bunta persis seperti yang menimpa Yongki, gajah patroli di Lampung yang tewas pada 2015 lalu.

"Kita melihat sekarang fenomena pemburu-pemburu gading sudah menyasar gajah-gajah jinak. Ketika mereka melihat peluangnya ada, mereka melakukan itu. Mungkin kan juga aksesnya lebih gampang, diikat, dan lebih gampang didekati. Beda dengan gajah liar yang perlu usaha untuk membunuhnya," kata Chik Rini pada BBC Indonesia, Selasa (12/06).

Sebagian besar kasus pembunuhan gajah dengan modus mengambil gading, menurutnya, biasanya mengambil kesempatan saat ada konflik antara gajah dan manusia, sehingga gajah ditembak dan diracun saat dianggap mengganggu perkampungan masyarakat.

Namun Chik melihat tewasnya Bunta sebagai kasus yang berbeda.

Mengingat kematian Bunta sebagai "pertama kalinya gajah BKSDA Aceh dibunuh pemburu", maka dia menganggap positif tawaran imbalan Rp10 juta atas informasi masyarakat.

"Banyak dari kasus pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya tidak bisa diungkap, baik itu kekurangan barang bukti atau kesulitan mengungkap pelaku. Beberapa yang bisa terungkap itu karena informasi masyarakat yang mengetahui. Kalau kita dengar selama ini, masyarakat tidak mau terlibat, walaupun kadang-kadang tahu karena pelaku jaringan perdagangan ini kan nggak banyak. Saya pikir ini salah satu cara mendorong siapa saja yang tahu, ini cara baru, upaya yang baru," katanya.

Aksi yang `kejam`

Chik masih menunggu hasil penyelidikan dari polisi dan BKSDA terkait tewasnya gajah Bunta.

Namun di media sosial, beberapa pembaca di dan menyampaikan komentar yang mengecam aksi para pemburu dalam meracuni dan mengambil gading gajah.

Menurut Chik, dalam kejadian pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya, "karena harus terburu-buru, maka dilakukan dengan cara-cara yang kasar sehingga kita lihat jasad gajahnya akan rusak seperti itu".

"Rata-rata semua pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya memang dilakukan dengan cara yang kejam, beda dengan harimau yang memang mengambil barangnya utuh bulat-bulat. Kekejaman dalam pembunuhan satwa ini pasti," kata Chik.

Namun menurutnya, hukuman yang dijatuhkan bagi pembunuh gajah rata-rata antara satu sampai dua tahun karena UU No 5 tahun 1990 mengenai konservasi sumber daya dan ekosistem hanya mengatur hukuman maksimal lima tahun.

"Para pegiat lingkungan sekarang meminta melakukan revisi undang-undang tersebut, harusnya minimal 5 tahun sehingga hakim akan memberi hukuman di atas itu," kata Chik.