Pemerintah Ubah Ancaman Hukuman Pidana Korupsi
- ANTARA/Muhammad Iqbal
VIVA – Tim Panitia Kerja Pemerintah dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP mengakui, ada perubahan ancaman pidana korupsi dalam draf RKUHP. Perubahan besaran ancaman pidana diatur secara proporsional dan rasional.
"Tim kami menggunakan satu sistem yang kami sudah kembangkan sendiri, saat kami melakukan penelaahan terhadap sanksi-sanksi. Kami mendapati sanksi-sanksi itu yang kami anggap tidak rasional dan proporsional," kata anggota Tim Panja Pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo di Kemenkumham, Jakarta Selatan, Rabu 6 Juni 2018.
Harkristuti melanjutkan, perubahan ancaman pidana ini merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya, Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat ketidakadilan ancaman pidana bagi pelaku korupsi yang merupakan masyarakat biasa dengan pejabat negara.
Pada Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor, kata Harkristuti, seorang masyarakat biasa bisa diancam hukuman minimal empat tahun penjara. Sedangkan Pasal 3, penyelenggara negara hukuman minimalnya hanya satu tahun penjara.
Ia menyatakan, karena adanya ketidakadilan itu pihaknya akhirnya menyamakan ancaman hukuman minimal pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang kemudian dituangkan dalam RKUHP.
"Pasal 2 dan 3 tadinya empat tahun, kami samakan setiap orang dengan pejabat. Jadi, tidak benar, ketika ada yang bilang diturunkan," kata Harkristuti.
Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham ini menambahkan bila ancaman hukuman mati juga tidak pernah pihaknya hilangkan.
Menurut Harkristuti, pidana mati masih tetap diatur di Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tipikor.
"Karena kekurangan pemahaman, jadinya dianggap kami menghilangkan sanksi pidana mati dalam UU Tipikor. Kami tidak melakukan, karena ayat itu tetap berlaku," kata Harkristuti.
Pada kesempatan sama, Harkristuti pun mengatakan, pihaknya turut meningkatkan ancaman pidana Pasal 5 sebagaimana UU Tipikor menjadi enam tahun penjara di dalam RKUHP.
Sementara itu, terkait dengan sanksi denda, Harkristuti menyebut terdapat sejumlah perubahan. Ia mengangkat sanksi denda minimal ada yang diturunkan, sementara denda maksimal pihaknya naikan.
"Karena dalam KUHP tidak ada besaran sanksi denda dalam pasal-pasal. Paling tinggi Rp1 juta paling banyak Rp50 miliar," ujarnya.
Diungkapkan Harkristuti, pihaknya membuat kategori-kategori dalam pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Kategori 1 dendanya Rp1 juta, kategori 2 denda Rp20 juta, kategori 3 denda Rp50 juta, kategori 4 denda Rp150 juta, kategori 5 denda Rp500juta, kategori 6 denda Rp5 miliar, kategori 7 dendanya Rp15 miliar, dan kategori 8 denda Rp 50 miliar.
Karena itu, Harkristuti menegaskan KPK tidak perlu risau dengan RKUHP yang nantinya berlaku lantaran lembaga antirasuah itu tetap bisa menggunakan UU Tipikor dalam menuntut seorang terdakwa korupsi.
"Artinya, walau ada dalam KUHP tindakan pidana korupsi ini tetap menjadi kewenangan KPK. Jadi, ini nampaknya ada overside karena tidak dibaca oleh teman-teman yang mengatakan akan melemahkan KPK," ujarnya.
Senada, Ketua Tim Panja Pemerintah Enny Nurbaningsih mengatakan sanksi tambahan berupa pembayaran uang pengganti tetap berlaku bagi terdakwa korupsi meskipun RKUHP berlaku. Menurutnya, pembayaran uang pengganti itu masuk dalam delik khusus.
"Soal uang pengganti, ini tetap berlaku. Termasuk, pemufakatan jahat. Memang kalau delik umum ada pengurangan, karena ini delik khusus, kekhususannya tidak akan hilang," kata Enny dalam kesempatan yang sama.
Enny meminta KPK tidak khawatir dengan RKUHP yang rencananya bakal disahkan Agustus 2018 mendatang. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional menjamin kekhususan KPK menangani tindak pidana korupsi tak akan hilang.
"Kami berharap, KPK datang dong, nih loh ditambahkan lagi, jangan mutung lah, mari sama-sama kita perbaiki. Jadi, enggak ada kemudian penyesuaian ini yang kami ambil, mereka harus mengganti semua, enggak ada," ujarnya.