KPAI Tolak Pernikahan Anak
- VIVA/Gadis Nesha Osika
VIVA – Pemberitaan kasus perkawinan anak mewarnai media sepanjang Mei 2017 hingga sekarang. Video viral belakangan adalah kasus anak laki-laki berusia 13 tahun yang menghamili anak SMP di Tulungagung, Jawa Timur. Kasus terakhir ini membuat Tulungagung masuk dalam zona merah pernikahan usia anak.
“Anak 13 tahun hamil, ini seperti bola salju di Tulungagung. Meningkat mulai dari 172 ditahun lalu menjadi 190. Kabupaten ini sangat tinggi,” kata Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah di kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta, Senin 28 Mei 2018
KPAI menyatakan, usia ideal perkawinan anak adalah 21 tahun. KPAI menolak terjadinya perkawinan usia anak karena bisa menyebabkan dampak yang luar biasa mulai dari putusnya pendidikan, kemiskinan yang berulang, hingga aspek kesehatan.
“Terkait perkawinan usia anak, prespektif hukumnya jelas, undang-undang perlindungan anak mencegah pernikahan usia anak. Perhatian dan seluruh pihak termasuk pemerintah daerah, untuk melakukan segala upaya untuk mencegah perkawinan dini,” kata Ai.
KPAI menyampaikan, perkawinan usia anak bukan hanya terjadi di Tulungagung, tapi juga di Lebak Banten, Sulawesi dan Jawa Tengah.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, hal penting untuk menghentikan bola-bola salju tersebut adalah pentingnya orangtua Indonesia memiliki cara pandang yang sama terhadap pernikahan dini.
“Baik laki-laki usia anak maupun sebaliknya, usia anak dilindungi untuk usia perkawinan. Ikhtiar dilakukan secara masif. Semua pihak harus semua dijalankan, pastikan orang tua di Indonesia memiliki cara pandang yang sama,” kata Susanto.
Di Indonesia sendiri, data UNICEF yang diperoleh dari BPS menyebutkan, pada tahun 2015 prevalensi perkawinan anak sebesar 23 persen. Satu dari lima perempuan yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama pada usia di bawah 18 tahun.
Masyarakat Indonesia masih memandang pernikahan dini bukanlah ancaman serius bahkan dipandang sebagai solusi oleh sebagian masyarakat dengan dalil menikah dini dapat menghindari potensi negatif. KPAI sendiri menerima aduan yang sangat sedikit terkait kasus ini dibandingkan dengan kasus kekerasan pada anak lainnya.
“Untuk di KPAI basisnya pengaduan, pengaduan publik sebagai masyarakat masih rendah melaporkan perkawinan dini, karena hal ini tidak dipandang hal seserius kekerasan seksual,” kata Susanto.
Semua pihak punya peran, pemetaan secara fisik, mental dan psikologi anak dinilai dapat memperkuat daerah-daerah meminimalisir kasus ini, melalui pendidikan dan lapangan kerja untuk kelompok yang rentan melakukan pernikahan dini.
“Kepala desa, bupati, RT, RW, kualitas pemikiran keluarga, guru, dan lingkungan semua punya peran untuk kasus ini.” (mus)