Undip Belum Putuskan Sanksi untuk Profesornya Pro HTI

sorot hti - Ilustrasi/Kelompok Hizbut Tahrir saat menggelar demo menolak kenaikan BBM beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVA/Ikhwan Yanuar

VIVA – Universitas Diponegoro Semarang belum memutuskan sanksi untuk salah satu guru besarnya, Profesor Suteki, yang dianggap pendukung konsep khilafah atau pemerintahan Islam dan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Sidang Dewan Kehormatan Kode Etik (DKKE) belum selesai.

Sidang DKEE digelar sejak Selasa lalu. Sebenarnya diperkirakan hanya dua hari dan kemarin semestinya sudah ada keputusan. Namun sidang belum beres hingga tiga hari kemudian, karena masih dalam tahap pengumpulan bukti-bukti.

"Dan ternyata di tahapan ini tidak selesai dalam waktu satu sampai dua hari," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Hubungan Masyarakat dan Media Undip, Nuswantoro Dwiwarno, pada Kamis, 24 Mei 2018.

Karena itu, sidang etik belum dapat memutuskan sanksi yang bakal dijatuhkan terhadap guru besar ke-13 Undip itu. Bahkan, Undip memperkirakan sidang masih berlangsung hingga pekan depan dan belum ada keputusan apapun. Soalnya masih ada tahapan klarifikasi dan konfirmasi kepada Suteki.

Dalam kesempatan terpisah, Suteki tegas menyatakan siap melawan otoritas kampus atas tindakan sidang etik terhadapnya berkaitan unggahan pro-khilafah di akun media sosialnya. Guru besar pada Fakultas Ilmu Hukum Undip itu menilai langkah Kampus yang memanggilnya dalam sidang DKKE sangat janggal. Sebab dia belum pernah sekali pun dimintai klarifikasi atas sejumlah unggahan di media sosialnya.

"Saya belum pernah dipanggil kampus dan belum sekali pun diminta klarifikasi. Tapi kok tiba-tiba rektorat sudah bertindak lewat empat pernyataan yang disebar di media (pernyataan sikap Undip), " kata Suteki pada Rabu.

Terkait sejumlah konten khilafah yang dianggap mendukung Hizbut Tahrir Indonesia, Suteki menilai gagasan itu tidak pernah merugikan kampus Undip. Gagasan yang diunggah pada media sosial, menurutnya, bagian dari seorang akademisi untuk mencerdaskan kehidupan bermasyarakat.

"Karena profesor tugasnya menyebarkan gagasan, sehingga medsos jadi alat saya untuk menyebarluaskan gagasan ketimbang media cetak," katanya.

Ia membantah sejumlah tuduhan bahwa dia anti-Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi selama 24 tahun mengajar, pria yang juga menjabat Kepala Prodi Magister Ilmu Hukum itu mengasuh mata kuliah Filsafat Pancasila. Ia pun menyangkal keras bahwa dia anggota HTI.

"Saya pengajar Filsafat Pancasila. Maka dengan background keilmuan seperti itu, yang perlu ditegaskan, saya bukan anggota HTI dan anti-NKRI, apalagi Pancasila," katanya.