Polri Bantah Rekayasa Rentetan Serangan Terorisme
- VIVA/Rahmad Noto
VIVA – Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Muhammad Iqbal membantah tuduhan sejumlah pihak yang menyebut rentetan tragedi terorisme di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo, dan Riau, hanya sebuah rekayasa polisi untuk pengalihan isu-isu tertentu.
Menurut Iqbal, peristiwa bom bunuh diri dan kerusuhan terjadi secara alami. Ia menegaskan, tidak ada orang di dunia ini yang bisa merekayasa peristiwa ledakan bom bunuh diri yang memakan korban jiwa tidak sedikit.
"Kalau ada yang bilang rekayasa, sutradara secanggih dan sehebat apapun dari Hollywood, enggak akan bisa merekayasa kasus bom Thamrin, Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo, Riau," kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 21 Mei 2018.
Iqbal menantang kepada pihak-pihak yang tidak percaya dengan rententan kasus tersebut, untuk menyertakan bukti yang menguatkan tuduhannya. "Polri minta bukti siapapun yang sampaikan bahwa kejadian itu rekayasa. Mana buktinya, mana yang aslinya," ujar mantan Kapolrestabes Surabaya tersebut.
Justru, menurut dia, mayoritas pernyataan yang menyebut bom itu rekayasa malah berita bohong dan bahkan mengandung ujaran kebencian. Lantaran itu, Iqbal mengingatkan kepada masyarakat, agar tidak asal berpendapat, apalagi berkesimpulan sebelum jelas kebenarannya.
Tuduhan rekayasa itu, menurut mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini, membuat pihaknya merasa tidak nyaman. Untuk itu, ia meminta semua pihak untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong.
Iqbal menjelaskan, Indonesia dalam menangani kasus terorisme mengedepankan upaya proses hukum yang adil dan sangat detail.
"Penyidik Kepolisian mengumpulkan seluruh alat bukti petunjuk dari TKP (Tempat Kejadian Perkara). Apakah alat bukti kejahatan ada korelasinya atau tidak dalam tindak pidana terorisme. Memeriksa beberapa saksi, guna melakukan serangkaian upaya penyidik untuk membuat terang,” ujarnya.
Hasil penyelidikan dan penyidikan polisi akan dikirim ke Jaksa Penuntut Umum untuk pemeriksaan berkas perkara. "Kemudian, ada P19 dan P21. Dalam proses ini didampingi pengacara. Setelah dinyatakan lengkap oleh jaksa menganalisa, memberkas, diuji kembali di sidang. Didetail di sidang berkali-kali. Terbuka untuk umum tidak ada yang ditutupi," ujarnya.
Ia pun membandingkan penanganan kasus terorisme di Indonesia dengan di Singapura. Di Singapura, kata Iqbal, hanya berdasarkan laporan intelijen saja orang yang diduga teroris langsung bisa ditangkap dan ditahan dua tahun.
"Ini saya menyampaikan kepada masyarakat, negara Indonesia kita sudah terdepan, belum lagi soft approach dalam deradikalisasi yang dilakukan BNPT dan seluruh unsur Kepolisian. Termasuk, Babinkamtimbnas untuk sampaikan pesan agar tidak terpapar ajaran sesat," katanya.