Terdakwa Kasus BLBI Ragukan Kredibilitas Audit BPK
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok
VIVA – Sidang kasus korupsi dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, digelar dengan mendengarkan nota keberatan atau eksepsi.
Syafruddin menilai, perkaranya terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merugikan uang negara senilai Rp4,5 triliun telah menyimpang dari ketentuan standar.
"Laporan Audit Investigatif BPK 2017, tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No.1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26," ujar Syafruddin, saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin 21 Mei 2018.
Dalam eksepsinya, Syafruddin juga menilai, adanya laporan berbeda pada 25 Agustus 2017, dengan yang dilakukan 30 November 2006, bahwa menyatakan tidak ada kerugian negara.
Saat itu, laporan auditor negara, menyatakan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia.
Saat terjadinya penerbitan SKL, Syafruddin menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan–perubahannya, serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2002," ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Yani, selaku pengacara Syafruddin, berpendapat kerugian negara yang dilaporkan oleh BPK tidak dijalani sesuai aturan seperti dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017.
Saat itu, pemeriksaan tidak melibatkan pihak BPPN, mulai dari ketua hingga anggota. Audit tahun 2017, memberikan kesimpulan tanpa perlu mendapatkan data primer dari sumber langsung sebagai terperiksa.
"Maka bagaimana pemeriksa BPK dapat independen, obyektif, dan profesional meneliti bukti permulaan," kata Yani.
Dalam kasus korupsi ini, KPK baru menjerat Syafruddin sebagai tersangka. Syafruddin diduga merugikan negara hingga Rp4,58 triliun atas penerbitan SKL kepada obligor BLBI.
Ia disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 33 Undang - undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.