MUI: Jenazah Teroris Wajib Dimakamkan, yang Menolak Berdosa

Rumah Sakit Bhayangkara di Surabaya tempat jenazah terduga teroris disimpan dan diidentifikasi.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Majelis Ulama Indonesia menyesalkan fenomena banyaknya keluarga pelaku terorisme tidak bersedia mengambil dan segera memakamkan jenazah keluarganya. Di antara penyebabnya, karena masyarakat tempat para bomber itu berasal menolak untuk dimakamkan di kampung mereka.

Wakil Ketua MUI, Zainut Tahid Sa'adi menegaskan, ada kewajiban bagi orang hidup untuk mengurusi jenazah orang yang meninggal dunia, terlebih bagi masyarakat yang beragama Islam.

"Hukumnya adalah fardhu kifayah," kata Zainut melalui pesan yang diterima VIVA, Jumat malam, 18 Mei 2018.

Mengurus jenazah bagi orang Islam meliputi memandikan jenazah, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Zainut mengingatkan, konsekuensi hukum Islam bagi masyarakat yang tidak bersedia mengurus jenazah.

"Artinya, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, semua orang yang mukim atau bertempat tinggal di daerah tersebut berdosa," jelasnya.

Masalahnya, apakah seorang teroris yang meninggal akibat perbuatannya itu masih tetap dianggap sebagai orang beriman atau muslim? Zainut menilai, hal ini perlu didudukkan masalahnya.

Menurutnya, seorang teroris yang meninggal akibat perbuatannya tetap dianggap sebagai seorang Muslim, sepanjang dia masih menampakkan keislamannya. Namun, dia masuk dalam kategori Muslim yang berdosa besar (fasiq).

Masyarakat harus bisa memisahkan antara tindakan terorisme dengan hukum atau syariat tentang kewajiban mengurus jenazah seorang Muslim. "Jadi, mayatnya harus tetap diurus sebagaimana seorang Muslim," ujarnya.

Zainut menyadari perbuatan terorisme memang haram hukumnya, karena telah menimbulkan ketakutan, kecemasan, kerusakan, dan bahkan kematian pihak lain. Perbuatan terorisme disebabkan, salahnya seseorang dalam memahami ajaran agama.

Sehingga, seringkali para pelaku tindak terorisme itu mengatasnamakan agama dalam setiap kali aksinya.

"Terhadap tindakan terorisme, kita semuanya sepakat untuk mengecam, menolak, dan melawan perbuatan biadab tersebut. Tetapi, terkait dengan hukum mengurus jenazah itu memang harus dilakukan, karena hukumnya wajib kifayah," katanya.

Dalam hal ini, MUI mengapresiasi pihak Kepolisian yang sudah mengambil alih pengurusan jenazah pelaku teror, karena baik masyarakat maupun keluarganya menolak mengurus jenazah tersebut. "Dengan demikian, Polri telah menggugurkan kewajiban umat Islam lainnya," katanya.

Sebelumnya diberitakan, sepuluh jenazah terduga teroris serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, masih tersimpan di RS Bhayangkara Kepolisian Daerah Jawa Timur. Belum ada keluarga yang mengambil, juga alasan teknis lain hingga jenazah itu tertahan di rumah sakit.

Sejatinya, pada Kamis sore, 17 Mei 2018, ada delapan jenazah teroris yang rencananya akan dimakamkan di pemakaman umum Putat Gede di Putat Jaya, Sawahan, Surabaya. Mereka akan dimakamkan, kendati belum didatangi pihak keluarga, karena kondisi jenazah yang mulai membusuk.

Namun, proses pemakaman batal dilakukan. Lubang jenazah yang semula disiapkan di pemakaman yang diketahui biasa dipakai untuk Mr X itu ditutup lagi. Informasi diperoleh, sebagian warga sekitar menolak jenazah terduga teroris itu dimakamkan di pemakaman Putat Gede.

Baca: Nasib Jenazah Teroris Surabaya, Tertahan Tak Dikubur-kubur