MUI Siapkan Fatwa Cegah Penipuan Berkedok Umrah
- VIVA/Adi Suparman
VIVA – Kasus penipuan umrah yang belakangan marak terjadi mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terkait hal itu, MUI menyiapkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah ke Tanah Suci tersebut.
Hal ini disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh di sela acara persiapan forum ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia. Forum tersebut bakal diikuti lebih dari 800 peserta dari berbagai elemen fatwa ormas Islam tingkat pusat, perguruan tinggi Islam, pesantren dan lainnya.
“Salah satu masalah fiqih kontemporer yang akan dibahas adalah masalah-masalah tentang haji dan umrah. Ada koreksi atas pelaksanaan manasik di sana yang tidak sejalan dengan aturan hukum Islam,” kata Asrorun di Hotel Margo, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 28 April 2018.
Asrorun menambahkan, untuk umrah ada pembatasan-pembatasan agar menjamin pelaksanaan ibadah secara baik prosesnya. Hal ini penting agar tidak meninggalkan masalah ekonomi, sosial, dan politik.
“Misal umrah utang, enggak jelas utangannya atau memfasilitasi penyelenggaraan ibadah umrah tapi diperoleh dari uang yang tidak dibenarkan secara syar’i,” jelasnya.
Selain itu, MUI akan membahas soal pemidanaan LGBT, dan perluasan pengertian perzinahan yang ada di KUHP. MUI menilai aturan yang saat ini kurang tepat karena dibatasi hanya untuk orang yang terikat pernikahan.
“Dalam perspektif hukum Islam tidak hanya itu, tapi setiap aktivitas penyaluran hasrat seksual yang tidak dibenarkan yang tidak legal secara syar’i ada hukumnya,” katanya.
Kemudian, lanjut dia, ada soal usulan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pencegahan pernikahan anak di usia dini. Di satu sisi, MUI sudah pernah mengeluarkan fatwa terkait hal itu.
Menurutnya, perlu komitmen untuk memberikan pendidikan pada seorang yang hendak melakukan pernikahan jangan sampai dia belum siap fisik dan mental yang akhirnya membawa mudarat.
“Akan tetapi memidanakan atau pelarangan secara ekstrem dengan mengasumsikan usia tertentu itu juga tidak pas. Mengoptimasi pendidikan dan pendewasaan terhadap usia perkawinan, usia kualitatif,” tuturnya.