Mantan Dirut Pertamina Dianggap Korban Kebijakan Populis

Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan salah satu indikasi dari pencopotan Elia Massa Manik sebagai Direktur Utama PT Pertamina adalah karena kepentingan pemerintah saat ini yang mementingkan kebijakan populisnya untuk menekan harga BBM penugasan di tengah mulai meroketnya harga minyak dunia.

"Maka saya mengatakan bahwa penggantian ini lebih karena yang ada di Pertamina saat ini merupakan orang-orang yang tidak kondusif untuk menjalankan kebijakan politis populis pemerintah. Itu yang paling basic," ujar Marwan dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu 21 April 2018.

Padahal, kata dia, sikap Elia selama ini yang terkesan 'menentang' untuk menekan harga BBM – terutama BBM penugasan seperti Premium dan Solar di tengah mulai meroketnya harga minyak dunia – adalah untuk menjaga kerugian Pertamina yang ditujukan untuk dialihkan membangun kilang minyak baru demi menjaga ketahanan energi nasional.

"Karena kita ini menjadi negara yang sudah net importir sejak 2004, dan akan terus bertambah, dan 2020 nanti bisa sampai 1,5 juta barel itu kita impor sebegitu banyak. Itu bukan cuma hanya minyak mentah yang kita impor justru nanti BBM juga bisa. Karena kilang kita tidak lagi mampu menyuplai kebutuhan dalam negeri," ucapnya.

Selain itu, menurut Marwan, keputusan Elia Massa untuk mengurangi pasokan Premium dan Solar yang dianggap energi kotor, terutama di daerah-daerah yang bukan penugasaan, dalam hal ini di daerah Jawa, Madura dan Bali (Jamali), pada dasarnya sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 191 tentang penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM serta Peraturan Menteri LHK tentang energi bersih dan ramah lingkungan sejak 2 tahun lalu.

"Jadi kalau ini lambat laun digantikan untuk diganti Pertalite mestinya konsisten dijalankan. Tapi karena kebijakan politik populis, apa yang sudah dicanangkan tidak dijalankan, malah siap membuat rakyat tidak sehat dengan memaksa BUMN (Pertamina) itu menjual premium yang tadinya Jamali tidak jadi penugasan malah tetap dimasukkan di situ," tegasnya.

Mafia BBM

Lebih jauh, Marwan menilai pencopotan posisi Elia sebagai Dirut Pertamina juga bagian dari kepentingan mafia BBM untuk terus memasok premium yang masih jauh dari standar internasional RON 92 atau yang disebut Euro2, sedangkan Premium masih dalam level RON 88.

"Buktinya kan, malah dikasih karpet merah Premium dijual sebanyak mungkin. Apalagi sampai 2019 sudah dijamin tidak naik. Maka impor Premium akan bertambah dan ini kesempatan mafia untuk membeli banyak dan rentenya lebih besar. Ini artinya menunjukan pemerintah tidak konsisten dengan sikap ingin menjual BBM yang ramah lingkungan," paparnya.

Sedangkan, kebijakan Elia yang selama ini terus berusaha agar Pertamina tidak merugi dengan menaikan harga BBM di luar penugasan seperti Pertalite dan Pertamax adalah untuk membangun kilang minyak baru dengan kulitas Euro5, atau diatas standar internasional.

"Dalam program-program kilang yang akan dibangun Pertamina (era Elia), sebetulnya di 2025 nanti dengan kapasitas 2 juta barel per hari kilang itu nanti standarnya sudah euro 5, itu targetnya," ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan Elia dicopot dari kursinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang digelar di Gedung Kementerian BUMN, hari ini, Jumat 20 Maret 2018.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengatakan, keputusan ini diambil atas dasar masukan dan pertimbangan Dewan Komisaris Pertamina.

Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Pertamina tersebut, maka posisi Elia Massa Manik digantikan oleh Nicke Widyawati sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut, sekaligus merangkap sebagai Direktur SDM.

Tabiat Elia yang sering mengeluh itu jadi pertanda dia tidak mampu untuk memimpin BUMN strategis tersebut. "Jadi indikasi dia mengeluh-mengeluh ini gimana dirut mengeluh mulu. Itu pesimis sekali, kayak 2030 Indonesia akan bangkrut," jelasnya. (ren)