Narkoba di Indonesia, Mengapa Tembak di Tempat Tak Efektif
- bbc
Amnesty International menyatakan sepanjang tahun 2017, polisi Indonesia menembak mati di tempat 98 terduga pengedar narkoba, naik tajam dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 18 orang.
Organisasi pegiat hak asasi itu juga mendesak pemerintah agar segera melakukan penyelidikan terhadap tindakan yang seharusnya menjadi pilihan aksi terakhir petugas.
"Ini salah satu bentuk dugaan pembunuhan di luar hukum dan tentunya kami meminta agar adanya investigasi... secara aturan itu polisi dibenarkan dalam hal membela diri, tapi kami melihat yang tadinya mungkin bisa jadi diinterpretasikan oleh aparat di bawahnya itu sebagai perintah," kata Haeril Halim, dari bagian komunikasi Amnesty International Indonesia.
BBC Indonesia menghubungi Amnesty International sejalan dengan peluncuran laporan tahunannya tentang Hukuman Mati dan Eksekusi Global, Kamis (12/04).
Dalam laporan itu, AI mencatat pada tahun 2016 di Indonesia, hukuman mati dijatuhkan pada 60 lebih terpidana dengan hanya empat eksekusi sedangkan tahun 2017 jumlah yang dipidana hukuman mati menurun menjadi 47 namun tanpa pelaksanaan eksekusi.
Namun Amnesty International Indonesia, kepada BBC, di balik angka itu terjadi peningkatan tembak mati di tempat yang meningkat tajam.
Aksi petugas yang menjadi bagian dari Badan Narkotika Nasional (BNN) ini kemungkinan besar didasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo pada bulan Juli 2017 yang mendesak kebijakan lebih tegas dalam menangani kejahatan terkait narkoba.
Tetapi peredaran narkoba terus meningkat meskipun berbagai tindakan terus diambil pemerintah, yang menurut anggota Komisi III DPR dari PDI-P, Trimedya Panjaitan, disebabkan ini karena besarnya pasar Indonesia dan masih adanya oknum petugas.
"Indonesia ini luas sekali dan jumlah penduduknya 260 juta sampai 270 juta. Jadi pangsa yang besar bagi pengedar-pengedar narkoba. Kita juga selalu mengingatkan aparat keamanan, TNI, POLRI tempat-tempat masuknya itu harus diinikan betul. Tetapi ternyata komitmen dari semua penegak hukum belum sama," kata Trimedya.
Hukuman mati
Menyambut peluncuran laporan tahunannya Amnesty International memandang perlu diambil langkah tegas dalam bentuk penghentian sementara pidana mati mengingat telah terbukti tidaklah membawa efek jera.
"Baru dianggap membaik ketika pemerintah mengambil langkah tegas terkait hukuman mati yaitu dengan melakukan moratorium. Jadi kalau kami mencatat vonis mati itu belum ada indikasi membaik," kata Haeril di Jakarta.
Hampir semua narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia adalah terkait dengan narkoba dan semakin banyak pemakai berarti terdapat semakin banyak juga pengedar atau bandar.
Tetapi pengamat hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, Dr Mahmud Mulyadi, tetap mendukung hukuman mati sepanjang tepat sasaran.
"Waktu pak Todung Mulya Lubis mengajukan permohonan penghapusan pidana mati di Undang-undang narkoba, saya salah satu ahli dari BNN yang setuju dengan pidana mati dengan secara hati-hati karena ini kan menyangkut sanksi yang paling berat."
"Kalau dia memang tepat sasaran kemudian terbukti pengedar dan banyak membahayakan maka Indonesia masih memerlukan itu," tambah Mahmud.
Jumlah pecandu narkoba di Indonesia dilaporkan meningkat setiap tahun. - Reuters
Masyarakat mendukung
Salah satu hal yang tetap tidak berubah adalah tingginya dukungan sebagian besar masyarakat Indonesia bagi pelaksanaan eksekusi mati.
Mayoritas penduduk ternyata memandang narkoba adalah musuh masyarakat yang sama buruknya dengan korupsi.
"Bagi masyarakat Indonesia narkoba sudah menjadi musuh bersama sama seperti tindak pidana korupsi. Narkoba itu sudah banyak memakan generasi muda. Kita melihat pemerintah, dalam hal ini penegak hukum mungkin tidak serius untuk menyelesaikan, menuntaskan kasus-kasus narkoba," kata Trimedya Panjaitan.
Sebagian besar terhukum mati harus menunggu bertahun-tahun sebelum eksekusi dilakukan dan hal ini, menurut Mahmud Mulyadi, haruslah dihindari agar lebih memberikan efek jera.
"Menurut saya (masyakarat) masih mendukung. Tetapi kelemahan pidana mati pada periode-periode terdahulu itu, eksekusi pidana mati kadang memerlukan waktu yang lama. Ada yang 10 tahun, ada yang 15 tahun, ada yang lima tahun."
"Itu yang menyebabkan tidak mempunyai kepastian hukum, yang menjadi titik lemah sehingga orang tidak takut pada pidana mati. Seharusnya kalau dia memang betul layak dipidana mati, eksekusinya tiga bulan setelah itu," Mulyadi menegaskan.