Pertamina Dituntut Ganti Rugi Kerusakan Akibat Minyak Tumpah

Petugas membersihkan tumpahan minyak di Pantai Banua Patra Balikpapan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sheravim

VIVA – Tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, mendorong penyelidikan lebih lanjut dan ganti rugi bagi korban serta masyarakat terdampak. Pasalnya, peristiwa tumpahan minyak di teluk Balikpapan, Sabtu 31 Maret 2018 lalu, merupakan persoalan serius yang perlu penanggulangan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dengan baik.

Tumpahan minyak yang diakui milik Pertamina tersebut ditengarai menyulut kebakaran kapal speed MV. Ever Judger berbendera Panama dengan muatan batubara. Meski seluruh awak yang berkewarganegaraan Tiongkok ini dapat diselamatkan, namun terdapat 5 korban jiwa yang merupakan nelayan dan masyarakat yang sedang berada di sekitar perairan dan kapal yang terbakar tersebut.

Akibat kejadian tersebut, ratusan nelayan yang mencari ikan di sekitar teluk terpaksa menghentikan aktivitas berlayarnya karena tumpahan minyak dari pipa yang dikelola patungan oleh Pertamina dengan Chevron itu.

GM Pertamina Refinery Unit V, Togar MP, mengaku tidak tahu persis awal kejadian. Pihaknya hanya mengambil sampel-sampel tumpahan minyak itu di perairan Pertamina saja, bukan di suplai bawah laut, tempat minyak mentah mengalir.

"Dengan penelitian-penelitian lebih lanjut ini minyak mentah (milik Pertamina), setelah pipa itu terputus dengan jumlah luasan besar," ujar Togar saat konferensi pers di Polda Kaltim, Kamis, 4 April 2018.

Sebelumnya, Togar MP berkali kali membantah minyak yang tumpah itu berjenis Marine Fuel Oil dan tidak mereka produksi di kilang RU V.

Peneliti Koalisi Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyatakan, agar pihak berwenang menelusuri lebih lanjut penyebab dari tumpahan minyak tersebut. Karena peristiwa ini termasuk bentuk kecelakaan tingkat fatal di sektor migas.

"Apakah terdapat aspek kelalaian yang dilakukan perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan standar keselamatan dan keamanan operasi pengangkutan minyak melalui pipa," kata Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah.

Begitu juga apa penyebab pasti lepasnya dan terseretnya pipa yang mengakibatkan tumpahnya sekira 15.000 barrel minyak mentah tersebut.

Selain itu, prosedur pemeliharaan dan pengecekan pipa secara berkala semestinya telah menjadi standar prosedur operasi, mengingat pipa tersebut telah berusia sekira 20 tahun. Serta upaya perbaikan jika ditemukan adanya tanda-tanda kerusakan merupakan bentuk pencegahan risiko yang semestinya dilakukan.

"Kemudian, diperlukan juga penyelidikan lebih lanjut apa penyebab kebakaran pengangkut batubara yang menelan korban jiwa tersebut," katanya.

Lebih lanjut, menurut Maryati, apakah kapal tersebut juga telah dilengkapi peralatan standar yang memungkinkan penanggulangan tumpahan minyak di perairan sebelum melakukan pelayaran. Semisal standar mengatasi kebakaran sebagai standar laik operasi.

Akibat pencemaran dari tumpahan minyak di laut sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup dan ekosistem di sekitar pantai. Baik secara langsung seperti kematian, perubahan fungsi tubuh dan perilaku, maupun secara sistemik berupa gangguan ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut .

Diketahui, insiden ini menewaskan 5 orang dan menyebabkan 13.000 warga menderita sakit pernapasan. Tercatat, luas cemaran yang diakibatkan ialah 12 kilometer persegi, sedangkan kerusakan lingkungan masih didata.

Sesuai dengan asas polluter pays principle, maka harus ada pihak yang bertangung jawab melakukan penanggulangan, pemulihan, pembiayaan dan ganti rugi. "Karena kegiatannya telah mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, dalam hal ini adalah Pertamina dan pihak-pihak lain hasil penyelidikan nantinya," kata Maryati.

Tanggung jawab mutlak atas biaya tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. (ase)