Rektor IAIN Bukittinggi Sebut Dosen Hayati Langgar Kode Etik
- VIVA/Andri Mardiansyah
VIVA – Rektor Institut Agama Islam Negeri Kota Bukittinggi, Ridha Ahida menjelaskan duduk perkara penonaktifan Hayati Syafri sebagai dosen, gara-gara perempuan itu menolak menanggalkan cadar.
Dalam konferensi pers di kampus IAIN Bukittinggi pada Jumat 16 Maret 2018, Ridha pertama-tama menerangkan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki otonomi atau hak mengelola lembaga pendidikannya. Itu diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Merujuk pada dua peraturan itu, IAIN memiliki statuta, pedoman akademik, dan kode etik sendiri yang harus dipatuhi oleh seluruh civitas academica. Kode etik disusun untuk memberikan landasan dalam setiap bersikap, berperilaku, berkarya, dan berpakaian selama bekerja di IAIN. Juga, menjamin proses pembelajaran yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kode etik itu, kata Ridha, otoritas kampus perlu memberitahukan kepada Hayati Syafri. Sang dosen sudah dua kali dipanggil untuk mengklarifikasi seputar busananya ketika bertugas mengajar mahasiswa di kampus.
"Dekan memberikan teguran tertulis, karena tidak ada perubahan dari yang bersangkutan. Saudari Hayati memberikan jawaban tertulis, yang pada prinsipnya pakaian yang bersangkutan kita anggap tidak sesuai dengan kode etik dosen," kata Ridha.
Sidang Dewan Kehormatan
Rektor kemudian mendisposisi surat dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Hayati melanggar kode etik.
Pada 15 Januari 2018, Dewan Kehormatan sepakat memanggil Hayati untuk mendiskusikan dan mengklarifikasi surat yang diajukan Dekan tentang dugaan pelanggaran kode etik itu. Hayati hadir dalam rapat dan dibahas panjang-lebar tentang sikap kukuhnya tetap bercadar.
FOTO: Hayati Syafri, dosen pada IAIN Kota Bukittinggi di Sumatra Barat, diwisuda sebagai doktor oleh kampusnya pada Jumat, 16 Maret 2018. (VIVA/Andri Mardiansyah)
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Hayati dalam pertemuan itu, Dewan Kehormatan berpendapat bahwa sang dosen diminta memakai pakaian formal dan sesuai syariat Islam.
"Pakaian yang bersangkutan tidak sesuai dengan pakaian formal di IAIN. Dan, sebagai pendidik harus ada kemampuan pedagogik dan interaksi sosial. Secara pedagogik yang bersangkutan dianggap tidak maksimal dalam menyampaikan materi pembelajaran, apalagi yang diajarkan bahasa Inggris yang memerlukan mimik wajah dan intonasi," kata Ridha.
Dewan Kehormatan juga meminta Ridha agar ikut mengimbau Hayati tidak tidak menggunakan penutup wajah selama proses perkuliahan di kampus IAIN. Pimpinan memberikan kesempatan kepada Hayati untuk merenungkan imbauan itu, serta komitmennya terhadap kode etik dosen. Namun, Hayati berkukuh menggunakan cadar.
Istikharah
Hayati tetap menolak tetapi berjanji meminta petunjuk kepada Tuhan melalui salat istkharah. Setelah berkali-kali salat istkharah, Hayati mengaku tak mendapatkan petunjuk apapun, sehingga dia memutuskan menghadap Wakil Rektor I.
"Saat itu, saya menyampaikan permohonan maaf, (bahwa) saya belum ada keyakinan untuk membuka cadar. Waktu saya menyampaikan itulah, Wakil Rektor I meminta saya untuk nonaktif saja," ujarnya, saat dihubungi VIVA pada Rabu 14 Maret.
FOTO: Hayati Syafri, dosen pada IAIN Kota Bukittinggi di Sumatra Barat, diwisuda sebagai doktor oleh kampusnya pada Jumat, 16 Maret 2018. (VIVA/Andri Mardiansyah)
Dia sempat meminta surat atau semacam keterangan sebagai bukti bahwa otoritas kampus memintanya nonaktif sebagai dosen. Namun, Wakil Rektor I, katanya, menolak permintaan itu dengan mengatakan cukup dengan lisan saja. "Beliau bilang bahwa ini perintah atasan."
Selain itu, Hayati juga mengaku akses akademiknya ditutup. Selain tak diizinkan mengajar, ia sama sekali juga tak bisa lagi membimbing mahasiswa. Bahkan, gaji tunjangan pun tidak lagi diterimanya.
Semua itu, sudah ia laporkan kepada Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat beberapa hari lalu. Laporan itu diwakilkan oleh suaminya.