Dalih SMAN 1 Semarang Keluarkan Dua Siswanya

Otoritas SMAN 1 Semarang mengumpulkan para orangtua siswa untuk menjelaskan ihwal pemberhentian dua siswa pada Jumat, 2 Maret 2018.
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA – SMA Negeri 1 Semarang berkukuh bahwa tindakan mengeluarkan dua siswanya dari sekolah adalah tindakan yang tepat. Mereka berdalih kebijakan memberhentikan siswa Anindya Puspita Helga dan Mochammad Afif Ashor itu telah sesuai tata tertib dan peraturan sekolah. 

Menurut Kepala SMAN 1 Semarang, Endang Suyatmi, kedua siswa kelas XII sekaligus pengurus OSIS itu dikeluarkan karena melanggar tata tertib sekolah. Mereka lalu diganjar sanksi poin maksimal dengan skor 110.

Menurutnya, Mochammad Afif Ashor diganjar sanksi maksimal karena sejumlah perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kepentingan sekolah.

"Maka kami memberikan poin pelanggaran maksimal kepadanya," kata Endang saat mengumpulkan para orangtua siswa yang mengikuti kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS di sekolahnya pada Jumat, 2 Maret 2018.

FOTO: Para siswa SMAN 1 Semarang berdemonstrasi dan menggelar doa bersama untuk dua rekan mereka yang dikeluarkan dari sekolah itu pada Jumat, 2 Maret 2018. (VIVA/Dwi Royanto)

Pelanggaran serupa juga berlaku bagi Anindya Puspita Helga. Endang mengklaim si siswi telah melanggar tata tertib kedisiplinan, menyakiti peserta didik, mengancam atau mengintimidasi siswa lain. Hal itu merujuk pada video kekerasan yang menjadi dasar pelanggaran saat kegiatan LDK.

"Atas dasar tersebut, kedua siswa itu dikeluarkan dari sekolah. Tapi hukuman yang kami berikan masih manusiawi, kok. Afif kan kemudian dipindahkan ke SMAN 6. Untuk Anin, dipindah SMAN 2," ujarnya.

Meski begitu, Endang menolak saat diminta memutar video yang dijadikan dasar utama pemberhentian Anin dan Afif. Alasannya, pemutaran video yang berkaitan dengan kekerasan sesuai undang-undang harus dilakukan aparat penegak hukum.

Dia menuding bahwa LDK yang diduga ada aksi kekerasan itu adalah kegiatan ilegal. Saat itu ada dua LDK, yakni LDK berproposal ke sekolah dan kegiatan setelah LDK.

"LDK itu kegiatan ilegal. LDK kan yang menamai oleh pengurus sendiri. Kegiatannya juga dilakukan di luar jam sekolah. Kegiatan setelahnya (LDK) itulah yang oleh anak-anak disebut LDK bawah tanah," katanya.

Disomasi

Kuasa hukum dua siswa dan keluarga, Listyani W, menilai tindakan sekolah secara sepihak telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak, termasuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2015. Maka dia melayangkan somasi kepada kepala sekolah.

"Somasi sudah kami layangkan. Sekolah telah melanggar hak pendidikan peserta didik karena mengeluarkan siswa tanpa didahului teguran lisan maupun tertulis yang edukatif atas dugaan pelanggaran yang dilakukan," katanya.

FOTO: Para siswa SMAN 1 Semarang berdemonstrasi dan menggelar doa bersama untuk dua rekan mereka yang dikeluarkan dari sekolah itu pada Jumat, 2 Maret 2018. (VIVA/Dwi Royanto)

Dalam kasus ini, kata Listyani, sekolah cenderung bersikap mengintimidasi, mengadu domba hingga memindahkan kedua siswanya ke sekolah lain tanpa persetujuan orangtuanya.

Tim pengacara juga mengecam tindakan Dinas Pendidikan Jawa Tengah yang tidak berimbang dalam menggali informasi tentang kasus itu. Sebab Dinas hanya mau mendengar keterangan otoritas sekolah dan mengabaikan versi kedua orangtua siswa.

"Apalagi kedua siswa ini, kan, mau menghadapi Ujian Nasional. Tapi mereka dipindahkan dari sekolah lain secara paksa," katanya.