Cagub Sultra Asrun dan Wali Kota Kendari Jadi Tersangka Suap

Calon Gubernur Sulawesi Tenggara 2018-2023, Asrun (kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun dan anaknya, Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Pemkot Sulawesi Tenggara.

Penetapan tersebut berdasarkan hasil gelar perkara atas operasi tangkap tangan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada Selasa, 27 Februari 2018.

"Dugaan (suapnya) berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Maret 2018.

Kata Basaria, nilai suapnya sebesar Rp2,8 miliar. Adapun Rp1,5 miliar sebagiannya melalui rekening bank.

Selain itu, menurut Basaria, pihaknya dalam perkara ini juga menjerat tersangka lain, yakni PT. Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah dan mantan Kepala BPKAD Kendari, Fatmawati Faqih.

PT SBN sering mendapat proyek dari Pemkot Kendari, bahkan sejak Asrun menjabat sebagai Wali Kota Kendari. Adapun Fatmawati diduga menjadi penghubung suap, sebab terindikasi sering merekomendasikan PT SBN mendapatkan hampir semua proyek dari Pemerintah Kendari.

Basaria mengaku prihatin, karena lagi-lagi penangkapan ini juga dilatari dugaan ada sebagian uang suap untuk pembiayaan pilkada. Diketahui, Asrun yang merupakan mantan Wali Kota Kendari, sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara dalam pilkada Sulawesi Tenggara 2018.

"Diduga untuk pembiayaan ikut serta dalam pelaksanaan pilkada. Jadi ada permintaan dari Wali Kotota Kendari kepada rekanan (PT SBN) untuk kebutuhan kampanye ASR," kata Basaria.

Tim satgas KPK mengamankan 12 orang dalam operasi tangkap tangan kali ini. Namun hanya lima orang yang dibawa ke kantor KPK.

Terhadap Hasmun selaku pemberi, disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Adriatma, Asrun dan Fatmawati, dijerat Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor Jakarta juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.