Mahfud MD: Presiden Bisa Batalkan UU MD3 dengan Perppu
- ANTARA Foto/Rosa Panggabean
VIVA – Pakar Hukum dan Tata Negara, Mahfud MD memberikan solusi yang cepat untuk segera menyelesaikan polemik Revisi UU MD3.
Menurut Mahfud, polemik ini dapat dengan cepat diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo.
Mahfud mengatakan, Presiden dapat menandatangani revisi UU MD3 tersebut. Namun, setelah itu Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang isinya mencabut revisi UU MD3 yang telah disahkan tersebut.
"Ada pengalaman kita, waktu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menandatangani undang-undang tentang pemilihan kepala daerah pada hari ini. Kemudian, besok paginya, dikeluarkan Perppu dan dicabut (UU yang sudah ditandatangani)," kata Mahfud dalam acara ILC tvOne, Selasa malam, 20 Februari 2018.
Menurut Mahfud, cara ini merupakan solusi yang paling cepat. Solusi ini, juga diperbolehkan oleh undang-undang dan sah di mata hukum. "Presiden tanda tangan, besok cabut pasal ini, dengan bunyi begitu dan sudah selesai. Bisa itu. bisa (melalui) Perppu," ujarnya.
Namun, jika ingin menempuh cara yang lebih umum, pihak yang tidak setuju dapat mengajukan uji materi, atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Namun, sekarang harus jadi undang-undang dulu dan memiliki nomornya dulu. Karena, judicial review itu kan objeknya harus jelas," terang mantan Ketua MK ini.
Kendati demikian, Mahfud mengakui, mekanisme melalui judicial review ini membutuhkan waktu yang lama. Karena untuk memutuskan, MK harus meminta pendapat ahli dan melalui sejumlah perdebatan. "Padahal, pikiran kita itu secara umum ingin itu diperbaiki sajalah," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyatakan Presiden Joko Widodo kemungkinan tidak akan menyetujui perubahan UU MD3. Hal itu ditegaskannya, usai melapor ke Presiden Jokowi, dan Presiden memang mempersoalkan pasal-pasal penambahan.
"Jadi, Presiden cukup kaget juga. Makanya saya jelaskan, masih menganalisis ini, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak menandatangani," ujar Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Selasa 20 Februari 2018.