Viral, Ajakan Foto dengan Teman dan Keluarga Beda Agama

Pemimpin agama Kristen dan kelompok Islam minoritas berdemonstrasi menuntut kerukunan antar agama dan toleransi di Jakarta, April 2013.
Sumber :
  • bbc

Setelah terjadinya serangan di gereja St Lidwina di Sleman, Yogyakarta, muncul beberapa gerakan untuk tetap menjaga keberagaman yang dilakukan oleh warganet dan kemudian diunggah ke media sosial.

Seberapa efektif sebenarnya aksi-aksi seperti ini dalam mencapai tujuan untuk mempertahankan kerukunan beragama?

Dalam beberapa hari terakhir, muncul rentetan kejadian yang dianggap mengancam kerukunan beragama di Indonesia, seperti serangan terhadap jemaat gereja yang sedang menggelar misa di Yogyakarta, dua serangan terhadap ulama, dan persekusi terhadap seorang biksu di Tangerang.

Ketika sedang khusyuk menjalankan misa ekaristi, jemaat Gereja Santa Lidwina di Sleman diserang oleh pria tak dikenal pada hari Minggu (11/02) pagi, dan setidaknya empat orang terluka akibat senjata tajam.

Setelah aksi kekerasan tersebut terjadi, di media sosial muncul video dan foto yang memperlihatkan seorang perempuan berjilbab ikut membersihkan gereja, selain juga rekaman beberapa orang umat Islam lain juga berpartisipasi.

Di media sosial, Bupati Sleman, Sri Purnomo juga mengunggah foto aktivitas bersih-bersih gereja Santa Lidwina yang melibatkan unsur Pemuda Muhammadiyah, NU, Aisyah, serta Majelis Ulama Indonesia.

Salah satu upaya menjaga kerukunan beragama tersebut dilakukan oleh pengguna media sosial @AdjieSanPutro, seorang praktisi meditasi, yang meminta agar warganet membagikan foto bersama teman dan saudara yang berbeda agama.

Ajakan Adjie lewat cuitan tersebut kemudian disebarkan lebih dari 600 kali dan disukai lebih dari 500 kali.

Dan dari hampir 300-an balasan yang diterima Adjie, banyak kisah pertemanan atau keluarga berbeda agama yang dibagikan oleh warganet, baik yang menggunakan foto maupun tidak.

Saat dihubungi BBC Indonesia, Adjie mengatakan bahwa lewat cuitannya ini, dia "sekadar mengajak orang agar tidak tersulut emosi".

"Bahwa kejadian yang kemarin, yang mungkin cukup besar gaungnya, sebenarnya tidak sebesar itu. Itu hanya dilakukan segelintir orang, tapi karena berita yang begitu besar jadi seolah-olah banyak yang seperti itu. Maka dengan itu semacam niat saya untuk tidak perlu melawan dengan kebencian juga," kata Adjie.

Meski begitu, Adjie juga menegaskan bahwa cuitannya itu tidak berarti bahwa dia menyangkal fakta bahwa ada aksi kekerasan yang terjadi.

"Itu tetap ada, pekerjaan rumah kita masih banyak untuk lebih banyak berbagi berita, kabar, yang menyeimbangkan dari hal-hal yang bernada kekerasan atau kebencian," kata Adjie.

Sementara itu, pendiri dan editor situs Islami.co dan situs NU Online, Savic Ali, mengatakan bahwa penting untuk memperbanyak konten yang mempromosikan keberagaman.

"Entah itu artikel, video di YouTube, entah itu sekadar meme, atau (kutipan), atau grafis, karena kalau tidak muslim Indonesia, generasi mudanya akan belajar dari situs-situs yang ultrakonservatif atau dari ustaz-ustaz yang ultrakonservatif atau yang provokatif. Penting itu memperbanyak konten," kata Savic.

Namun, Savic mengakui bahwa dengan membagikan konten yang mempromosikan keberagaman di media sosial, ada risiko bahwa unggahan tersebut hanya akan sampai di orang-orang dalam lingkaran yang sama, sehingga dia juga menegaskan pentingnya mengumpulkan konten tersebut secara lebih terorganisir dalam satu situs.

"Siapa yang bisa memenangi algoritma Google, dia bisa memenangi kepala orang. Memang harus ada strategi untuk mencapai di luar lingkaran yang sama, itu harus diiklankan, dan itu butuh biaya, agar konten itu mencapai di luar lingkaran sendiri," kata Savic.