Darurat Korupsi, Awal 2018 Sudah 5 Kepala Daerah Tersangka

Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi - KPK di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Belum genap 35 hari di awal 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjerat lima kepala daerah sebagai tersangka. Sebagian diantaranya dijerat dengan operasi tangkap tangan.

Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif menjadi kepala daerah pertama yang dijerat pada awal 2018. Abdul Latif diciduk dalam operasi tangkap tangan pada Kamis,4 Januari 2018. Ia pun menyandang status tersangka kasus dugaan suap terkait pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Damanhuri tahun anggaran 2017.

Selanjutnya, KPK menciduk Bupati Kebumen, M. Yahya Fuad dan tim suksesnya, Hojin Anshori atas kasus dugaan suap dan gratifikasi. KPK kemudian menetapkan Bupati Halmahera Timur, Rudi Erawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek pengadaan jalan milik Kempupera tahun anggaran 2016.

Penetapan Rudi merupakan pengembangan dari perkara operasi tangkap tangan pada awal 2016 lalu. Tidak berhenti di situ, KPK juga menjerat Gubernur Jambi, Zumi Zola sebagai tersangka suap dan gratifikasi.

Kasus itu sejatinya pengembangan dari perkara dugaan suap pengesahan APBD Jambi yang telah menjerat tiga pejabat Pemprov dan seorang anggota DPRD Jambi.

Terakhir, KPK menangkap tangan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Inna Sulistyowati Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Sabtu, 3 Februari 2018. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka suap perizinan dan pengurusan penempatan jabatan di lingkungan Pemkab Jombang.

Lima kepala daerah yang dijerat KPK di tahun 2018 ini menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi. Berdasarkan catatan VIVA, sejak 2004 hingga 2017, tidak kurang dari 65 Bupati atau wali kota, ditambah 12 gubernur, yang ditetapkan KPK sebagai pesakitan rasuah.

Jumlah ini belum termasuk anggota DPRD tingkat I dan tingkat II serta jajaran SKPD yang terjerumus korupsi.

Dengan data ini, sebagian kalangan menilai kalau Indonesia telah darurat korupsi di kaerah. Korupsi yang merupakan kejahatan terorganisir tak lagi dimonopoli penyelenggara negara di pemerintahan pusat.

Dipandang juga, otonomi dan desentralisasi kekuasaan justru menumbuhkan 'raja-raja kecil' dan menyuburkan praktik korupsi di daerah.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang tak menampik masalah ini. Dia pun menyebut Indonesia Darurat Korupsi daerah.

Sebab, dalam sejumlah kasus yang telah dibawa KPK ke persidangan, Saut melihat tingginya biaya politik menjadi salah satu faktor maraknya kejahatan luar biasa dilakukan penyelenggara negara di daerah.

Balik Modal Kampanye

Para kepala daerah harus menggalang dana dengan cara ilegal dan meminta kepada para pengusaha untuk modal kampanye mereka mengikuti kontestasi politik. Setelah terpilih, para kepala daerah ini berupaya mengembalikan modal kampanye dengan praktik-praktik ilegal mulai dari mengutip, memeras jajaran di bawah, menerima suap untuk memuluskan izin usaha, hingga menyelewengkan anggaran daerah dan praktik korupsi lainnya.

"Analisis KPK dari potongan-potongan informasi yang diperoleh KPK menunjukkan di banyak tempat seperti itu (biaya politik tinggi). Analisis itu bisa salah, karena KPK pada fakta-fakta persidangan baru berhasil membawa beberapa mereka pelaku ke pengadilan," kata Saut saat berbincang dengan awak media, Selasa, 6 Februari 2018.

Selain biaya politik yang tinggi, terjadinya saling sandera antara eksekutif dan legislatif pun dinilai menjadi pemicu terjadinya korupsi di daerah. Di sejumlah daerah misalnya, DPRD menolak untuk mengesahkan APBD apabila tak ada uang 'ketok' atau 'pelicin' dari eksekutif. KPK sendiri telah berulang kali turun ke daerah untuk menengahi persoalan ini.

"Ada di beberapa daerah, mereka saling sandera antara satu kekuatan dengan kekuatan lain di parlemen, dan pemerintah daerah. kemudian KPK mencoba menengahi tata kelolanya kemudian selesai setelah kami datang menengahinya," kata Saut.

Saut menambahkan, KPK dan tiap elemen bangsa perlu bekerja keras untuk menghentikan rezim korupsi di daerah. Perlu cara-cara tertentu dalam mencegah dan menindak praktik korupsi. Apalagi tahun ini terdapat 171 daerah yang menggelar Pilkada secara serentak.

"KPK perlu kerja keras baik cara tindak dan cara cegah menyelesaikan hal ini supaya tidak berulang," kata Saut. (ren)