Apa Jadinya Teknis Penulisan Para Penghayat di KTP?
- VIVA.co.id/Nadlir
VIVA – Sudah tiga bulan berjalan, hingga kini teknis penulisan penghhayat kepercayaan dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) belum diputuskan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun mengakui masih mempelajari sejumlah opsi untuk penulisannya. "Ini kalau tidak hati-hati maka akan jadi isu sensitif," katanya di Jakarta, Senin, 29 Januari 2018.
Menurut Tjahjo, saat ini memang ada beberapa opsi untuk penulisannya di KTP. Seperti, agama garis miring kepercayaan (Agama/Kepercayaan:). Namun usulan ini tak disetujui oleh tokoh agama.
"Tokoh agama enggak mau. Wong kepercayaan bukan agama dan agama bukan kepercayaan. Kenapa harus garis miring. Walaupun sama-sama warga negara," katanya.
Baca Juga:
- MUI: Aliran Kepercayaan Masuk KTP, Umat Beragama Terluka
- [Wawancara Khusus] Ini Bukan Debat Teologis
Opsi selanjutnya yakni berupa, baris agama dan kepercayaan dipisahkan. Kemudian, ada juga opsi untuk membuat KTP sendiri bagi penghayat kepercayaan.
Termasuk juga muncul opsi membuat kolom agama titik dua (Agama:) dan kolom kepercayaan titik dua (Kepercayaan:).
"Yang kepercayaan paling-paling 5 juta bikin cetak khusus KTP-nya. Misal kepercayaannya apa? Misal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau alirannya ditulis Sunda Wiwitan dan lain-lain ada 40-an aliran," ujarnya.
Sejauh ini, Tjahjo mengaku telah berkomunikasi dengan sejumlah elemen perihal memasukkan penghayat kepercayaan dalam KTP. Dia juga akan berkoordinasi dengan DPR untuk menerima masukan.
"Sekarang masukan tokoh agama sudah, majelis ulama sudah, Depag (Departemen Agama) sudah, tinggal kami nunggu katanya mau dipanggil DPR memberi masukan setelah itu kami rapatkan di Polhukam dan lapor ke Presiden. Ini sensitif. Pilkada dulu baru ini (masalah penghayat kepercayaan)," katanya.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan gugatan para warga penghayat kepercayaan. MK mengabulkan gugatan tersebut karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia.
Ketua MK Arief Hidayat menganggap gugatan para warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Dia juga berpendapat, akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.