Episode Anyar Pulau Buatan

Proyek Reklamasi di Teluk Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA.co.id – Proyek reklamasi Teluk Jakarta memasuki bab baru. Itu terjadi setelah pemerintah pusat mencabut penghentian sementara atau moratorium terhadap 17 pulau reklamasi di ujung Ibu Kota tersebut.

Kabar pencabutan moratorium itu diungkapkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati.  

"Moratorium dari Pak Menko Maritim alhamdulillah sudah ditandatangani. Sudah dicabut," kata Tuti di Balai Kota, Jakarta, Jumat, 6 Oktober 2017. 

Pencabutan moratorium sudah dilakukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dengan menandatangani keputusan itu dalam sebuah surat. Langkah ini dilakukan setelah ada kajian. Namun, Luhut tidak menjelaskan secara detail kajian dan pertimbangan yang membuat pemerintah mencabut moratorium
tersebut.

"Ini ketuanya Pak Ridwan, Ketua Alumni ITB, yang membuat kajian itu," ujar Luhut di Medan, Jumat, 6 Oktober 2017 sore.

Bukan hanya ahli dari ITB, kajian itu juga dilakukan Bappenas beserta semua kementerian terkait. "Ada Jepang, ada Korea, ada Belanda. Jadi mau apa lagi?" kata Luhut.

Pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta sempat dihentikan sementara pada 2016. Moratorium tersebut berdasarkan surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor 27 Tahun 2016. 

Tahun lalu, keputusan moratorium itu diambil setelah sejumlah pihak bertemu  di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin, 18 April 2016. Di antara mereka yaitu Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman saat itu Rizal Ramli, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi.

"Memerintahkan untuk menghentikan sementara (moratorium) pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta, sampai semua persyaratan, undang-undang dan peraturan dipenuhi," ujar Rizal Ramli di Jakarta, Senin, 18 April 2016.

Dalam pertemuan itu, para pihak terkait sepakat reklamasi di Teluk Jakarta bukan tindakan salah. Reklamasi merupakan salah satu pilihan proses pembangunan untuk wilayah DKI Jakarta. Namun, perlu penelaahan lebih mendalam terkait manfaat dan risiko yang akan terjadi. Mereka pun menyadari proyek berlandaskan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta tersebut, memiliki aturan yang tumpang tindih. 

Proyek reklamasi tersebut mencakup 17 pulau dengan luas total lahan 5.100 hektare. Ke-17 pulau tersebut diberi nama sesuai alfabet dari A-Q.  Adapun sejumlah perusahaan yang dilibatkan dalam proyek itu, antara lain PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Grup), PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Land), PT. Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland, PT. Pelindo II.

Kini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerima surat pemberitahuan soal dicabutnya moratorium itu. Untuk itu, Bappeda DKI akan segera melayangkan surat kepada DPRD DKI untuk membahas Raperda reklamasi.

"Kepada DPRD mohon untuk segera dibahas dan disetujui bersama, dilakukan paripurna persetujuan untuk
Perda," kata Tuti.

Bappeda juga akan bersurat kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait persetujuan substansi lahan. 

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat merespons positif pencabutan moratorium itu. Menurut dia, pencabutan  moratorium 17 pulau reklamasi oleh pemerintah pusat merupakan  langkah yang tepat. 

Sebab, investasi besar telah digelontorkan pihak swasta. Bahkan, investasi telah digulirkan sejak 1995. Pencabutan moratorium itu akan memberikan kepastian investasi di Jakarta. 

"Memang harusnya begitu (moratorium dicabut). Karena itu sudah dilakukan sejak tahun 1995. Mereka sudah investasi. Masa kemudian diungkrak-ungkrik lagi," kata Djarot di Balai Kota, Jakarta, Jumat, 6 Oktober 2017. 

Pemerintah sekarang, menurut Djarot, harus konsisten menjalankan aturan yang telah dibuat. Jika memang dilarang, harusnya aturan itu dilakukan sejak awal pulau itu hendak direklamasi tahun 1995. 

"Kalau enggak boleh sejak zaman dulu dong enggak boleh. Kan enggak mungkin kami menggugurkan sedangkan investasi sudah dilakukan di sana," ujarnya.