Kasus Bayi Debora, LPAI: Evaluasi Pasien, Dokter dan RS
- VIVA.co.id/Bobby Agung
VIVA.co.id – Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyerukan agar ada evaluasi menyeluruh dari pasien, dokter dan manajemen rumah sakit atas tragedi meninggalnya bayi Tiara Debora Simanjorang. Bayi tersebut diduga tidak mendapat perawatan semestinya di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat.
"Untuk mencegah agar tidak terjadi peristiwa serupa ke depannya, unsur kebijakan layanan kesehatan nasional juga patut dicermati," ujar Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi, dalam siaran pers LPAI, Senin, 11 September 2017.
Menurut dia, bayi yang sakit harus ditangani sesegera mungkin. Tidak boleh ditunda, walau untuk masalah administrasi. Penanganannya, lanjut pria yang diakrab Kak Seto, ini juga tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. "Bayi membutuhkan penanganan ekstra. Bayi bukan miniatur orang dewasa," katanya.
Belajar dari kasus Debora, menurut dia, pemerintah perlu juga memerhatikan sarana berupa Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Untuk membuat PICU memang membutuhkan SDM yang mumpuni, termasuk tersedianya dokter-dokter anak dengan spesifikasi perinatologi dan intensive care. Meski tidak mudah, demi kesehatan anak-anak Indonesia, pemerintah tetap harus mengagendakan pengadaan sarana tersebut.
LPAI juga meminta seluruh sarana kesehatan sebelum bayi Debora dibawa ke RS Mitra Keluarga Kalideres, dicek. Apakah itu di puskesmas atau lembaga kesehatan lainnya. "Ini menjadi bahan evaluasi tentang seberapa jauh sentra-sentra kesehatan terdekat, semisal puskesmas, berada dalam jarak jangkauan masyarakat," ujarnya.
LPAI menyadari, untuk penanganan bayi harus maksimal. Tidak bisa ditawar lagi. Namun di satu sisi, sistem BPJS masih banyak kekurangan. Bahkan kalau tidak dibenahi, rumah sakit bisa menghadapi persoalan finansial yang serius maka akan berdampak pada pelayanan rumah sakit itu sendiri.
Evaluasi menyeluruh, menurut dia, juga perlu dilakukan agar tidak ada sikap apriori terhadap rumah sakit. "Sikap apriori terhadap rumah sakit, dalam situasi ekstrem, justru bisa mengakibatkan hilangnya satu sarana tersebut," ujarnya.
Dia menambahkan, "Ketika satu sarana layanan kesehatan hilang, berapa banyak pasien yang tak terlayani? Ketika rumah sakit dibekukan, berapa panjang antrean yang akan mengular di rumah sakit lain? Di atas itu semua, siapa pihak yang paling dirugikan? Tak lain, anak-anak DKI juga." (ase)