Saksi Ahli Beberkan Asal Mula Pasal yang Jerat Ahok
- VIVA.co.id/Fajar GM
VIVA.co.id – Saksi ahli hukum pidana, C Djisman Samosir, yang dihadirkan tim penasihat hukum terdakwa penoda agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjelaskan asal mula Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kedua pasal itu menjerat Ahok yang diduga menodai agama akibat menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Menurut Djisman, KUHP, yang merupakan aturan hukum dari masa kolonial Belanda, pada awalnya hanya mencantumkan Pasal 156. Pasal 156a baru disisipkan pemerintah belakangan, melalui Penetapan Presiden (PNPS) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965.
"Ada kondisi-kondisi di negara ini, yang menurut penglihatan pemimpin negara, ada persoalan-persoalan keagamaan. Sehingga disisipkan lah 'a' untuk membedakan antara Pasal 156 dengan 156 a," ujar Djisman di lokasi persidangan, Auditorium Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa, 21 Maret 2017.
Adapun Pasal 156 mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sementara itu, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Djisman mengatakan, pemerintah mengeluarkan PNPS karena KUHP sebelumnya tidak secara tegas mengatur hukum untuk tindakan penodaan agama.
Pasal-pasal serupa yang membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap suatu golongan, yaitu 154, 155, dan 156, baru secara spesifik mengatur hukuman untuk tindakan penyebaran kebencian terhadap suku, golongan, pemerintah, dan kelompok tertentu.
"Ada sebenarnya pasal yang mengatur (hukuman untuk tindakan) penodaan agama, tapi saya berpendapat, tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara hukum pidana itu harus gramatikal, mengatur secara tegas," ujar Djisman. (ase)