Derita Ibu Kandung Pengamen yang Gugat Polisi Rp1 Miliar

Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto didampingi pengacara, Senin 25 Juli 2016.
Sumber :
  • Irwandi Arsyad - VIVA.co.id

VIVA.co.id – Penderitaan akibat salah tangkap penyidik Polda Metro Jaya tak hanya dirasakan oleh Nurdin Priyanto dan Andro Suprianto saja. Tapi juga dirasakan orang tua dan keluarga kedua pengamen yang dituduh telah melakukan pembunuhan itu.

Marni, ibu kandung Andro Suprianto menuturkan, akibat penangkapan dan penahanan, serta peradilan yang dialami putranya, keluarga mereka jadi dikucilkan masyarakat.

Ibu berusia 55 tahun itu menceritakan, setelah ditangkap polisi, masyarakat langsung merespons dengan mencemooh dan mencibir keluarga Andri. Lebel sebagai pembunuh pun dilekatkan masyarakat tempat mereka tinggal.

Bahkan, Marni dan keluarga sempat diusir secara halus oleh pemilik rumah yang dikontraknya. Akhirnya Marni memutuskan untuk pindah kontrakan dari Kampung Poncol, Cipadu, Bogor, ke daerah Kampung Gaga, Bogor.

"Alasan halusnya sih mau betulin rumah," ujar Marni, Selasa 26 Juli 2016..

Ibu yang mempunyai lima anak itu, mengaku sangat sedih dengan penilaian masyarakat yang masih tidak percaya bahwa Andro tidak bersalah dan tidak terlibat dalam pembunuhan itu.

Meski demikian, Marni mengaku, selama ini tetap meyakini anaknya tidak melakukan seperti yang dituduhkan. Hal itu juga diperkuat dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan kasasi di Mahkamah Agung.

Seperti diketahui, Nurdin dan Andro dituduh dan disangka, hingga dipidanakan dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana di bawah jembatan Cipulir Jakarta Selatan pada akhir Juni 2013.

Keduanya ditangkap, ditahan, dan diproses secara hukum meski tidak ada bukti yang mengarahkan mereka sebagai pembunuh Dicky. Hal itu diperkuat dengan adanya putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta dan diperkuat dengan hasil kasasi di Mahkamah Agung.

Andro dan Nurdin telah dibebaskan dari hukuman tujuh tahun penjara yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan keduanya tidak bersalah dan dibebaskan. Namun, Jaksa Penuntut Umum tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasus pembunuhan Dicky Maulana diduga dilakukan enam anak jalanan yang sehari-hari mengamen di Cipulir, Jakarta Selatan. Mereka adalah dua terdakwa dewasa, Andro dan Nurdin, dan empat terdakwa anak di bawah umur yang kasasinya tengah berjalan di Mahkamah Agung (MA). Mereka berinisial FP (16 tahun), F (14 tahun), BF (16 tahun), dan AP (14 tahun).

Pembunuhan Dicky terjadi pada Minggu 30 Juni 2013. Pada 1 Oktober 2013, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan pidana penjara tiga sampai empat tahun, kepada empat terdakwa anak di bawah umur. Sedangkan, Nurdin dan Andro, masing-masing dihukum tujuh tahun penjara.

Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas Andro dan Nurdin dalam kasus pembunuhan ini. Pada putusan banding Nomor 50/PID/2014/PT DKI, majelis hakim menyatakan kedua pengamen itu tak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan.

Selanjutnya... Mereka gugat polisi Rp1 miliar...

***

Mereka gugat polisi Rp1 miliar

Nurdin dan Andro baru terbukti tidak bersalah, setelah sempat dijatuhkan hukuman pidana perkara pembunuhan. Dua pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan ini pun melayangkan gugatan atas kasus salah tangkap itu.

Tak tanggung-tanggung, Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto menggugat Polri dan Kejaksaan Agung membayar ganti rugi atas kasus salah tangkap itu senilai Rp1 miliar.

Gugatan itu dilayangkan Andro dan Nurdin bersama tim kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan gugatan itu dilangsungkan Senin siang, 25 Juli 2016.

"Agendanya pembacaan, permohonan dari kita selaku pemohon. Agendanya jam sembilan. Tetapi, karena termohon belum hadir, makanya belum dimulai," kata kuasa hukum pemohon, Arief Maulana.

Sidang gugatan satu miliar rupiah itu terdaftar dalam nomor perkara 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel. Dan sidang akan dipimpin Hakim Totok Sapti Indrato.

Arief menuturkan, pengajuan permohonan praperadian terkait ganti kerugian salah tangkap tersebut, dilakukan setelah adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung, yang menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menyatakan keduanya tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.

Dalam permohonan praperadilan yang diajukan oleh kliennya itu, menurut Arief, ada dua pihak yang menjadi termohon dan satu pihak turut termohon. Pertama, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, selaku pihak termohon I. Kemudian, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, selaku pihak termohon II. Sedangkan untuk pihak turut termohon, menteri keuangan.

"Klien kami, dulu dipidana gara-gara dituduh membunuh. Kemudian, kita bisa membuktikan di level banding, kita menang. Kemudian jaksa kasasi, kemudian putusannya (Kasasi) menguatkan keputusan banding. Inti keputusan banding tidak bersalah dan dibebaskan," ujarnya.

Dalam gugatan itu, pemohon I dan II menuntut ganti kerugian materil dan imateril kepada pihak termohon dan turut termohon. Dalam permohonannya, pemohon I meminta ganti rugi materil Rp75.440.000 dan imateril Rp590.520.000. Sedangkan pemohon II, meminta ganti rugi materil Rp80.220.000 dan imateril Rp410.000.000.

"Total ganti kerugian sekitar kurang lebih Rp1 miliar," kata Arief.