Ternyata, KPK Sadap Staf Khusus Gubernur Ahok

Staf khusus Ahok, Sunny Tanuwidjaja memenuhi panggilan KPK.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Gubernur DKl Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengakui, bahwa dia sempat disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sadapan tersebut yang kemudian dikonfirmasi kepada Sunny saat menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan suap pembahasan Raperda mengenai Reklamasi Teluk Jakarta.

"Ada satu, tapi cuma 1 pertanyaan saja tentang itu," ujar Sunny, usai menyelesaikan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 13 April 2016.

Sunny mengatakan, sadapan yang dikonfirmasi adalah terkait percakapannya dengan Ketua Komisi D DPRD DKl Jakarta, Mochamad Sanusi. Menurut Sunny, ketika itu dia dan Sanusi membahas mengenai Raperda terkait reklamasi.

"Intinya kenapa Raperda ini lambat, lalu soal Raperda ini apakah pak Gubernur sudah setuju atau belum," ujarnya.

Selain soal sadapan, Sunny mengaku dia banyak ditanya mengenai kedekatannya dengan Sanusi. Termasuk juga mengenai tugas-tugas dia di kantor Gubernur DKl Jakarta.

"Ditanya yang simpel-simpel aja, soal tugas dan fungsi saya di kantor Gubernur, peranan saya dalam pembahasan Raperda, kemudian juga soal hubungan saya dengan tersangka, Pak Sanusi. Itu saja," ungkap Sunny.

Namun saat disinggung mengenai dugaan adanya aliran dana dari pihak pengembang ke Pemprov, Sunny langsung menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk yang ditanyakan penyidik. "Gak, gak ditanyakan. Gak, (saya) gak tahu," ujarnya berdalih.

Sunny diketahui menjadi salah satu pihak yang turut diminta pencegahan keluar negeri oleh KPK. Dia dicegah bersama sejumlah saksi lainnya, termasuk bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarief menyatakan bahwa pencegahan dilakukan lantaran keterangan Sunny diperlukan untuk mengungkap kasus ini. Dia dinilai mengetahui perkara yang telah menjerat Ketua Komisi D DPRD DKl, Mochamad Sanusi dan Presdir Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja itu.

"Kalau dia dicegah, berarti dibutuhkan keterangannya," kata Syarief dalam pesan singkat saat dikonfirmasi, Jumat 8 April 2016.

Secara terpisah, Wakil Ketua KPK lainnya, Saut Situmorang mengakui nama Sunny sempat beberapa kali pada proses penyidikan. Namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai hal tersebut. "Ada didengar dalam beberapa kesempatan nama itu. Tapi siapa dia penyidik yang tahu," ujar Saut.

Sunny disebut-sebut adalah perantara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD dan perusahaan pengembang yang ikut dalam proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta.

"Sunny itu bisa disebut sebagai koordinator lapangan. Dia yang menghubungkan antara pemda, pengusaha, dan pihak DPRD DKI," ujar pengacara M. Sanusi, Krisna Murthi, saat dihubungi wartawan, Jumat 8 April 2016.

Krisna tidak menampik jika nama Sunny muncul dari keterangan Sanusi saat diperiksa penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Menurut Krisna, Sanusi yang merupakan Ketua Komisi D DPRD DKl Jakarta itu memang pernah berkomunikasi dengan Sunny terkait pembahasan soal Raperda tentang Reklamasi.

Kendati demikian, Krisna menyebut keterlibatan Sunny pada pembahasan kesepakatan dalam proyek reklamasi itu tidak bisa langsung diartikan sebagai pelanggaran hukum. Krisna menyebut negosiasi antara pemerintah, anggota dewan dan pengusaha merupakan hal yang lumrah.

Diketahui, kasus ini terungkap setelah KPK melakukan tangkap tangan pada 31 Maret 2016 lalu. Penyidik KPK telah menetapkan 3 orang sebagai tersangka dalam perkara ini.

Mereka antara lain adalah Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APL), Ariesman Widjaja; Karyawan PT APL, Triananda Prihantoro serta Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.

Ariesman dan Trinanda diduga telah memberikan suap kepada Sanusi hingga Rp2 miliar. Suap diduga diberikan terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil P?rovinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara

(mus)