Pakar Berkendara: Jangan Cuma Tuding Sopir Metro Mini Maut

Petugas evakuasi bangkai Metro Mini yang ditabrak KRL di Angke, Jakut.
Sumber :
  • Twitter @TMCPoldaMetro

VIVA.co.id - Ahli keselamatan berkendara (safety riding), Jusri Pulubuhu, menilai kecelakaan yang menimpa angkutan umum di Jakarta tak melulu masalah kemampuan mengemudi. Tapi lebih ke masalah sistem transportasi angkutan umum darat.
 
Begitu pula di kecelakaan Metro Mini dengan KRL Commuter Line yang menewaskan 18 penumpang Metro Mini, Minggu 6 Desember 2015. Jusri menilai semua pihak harus melihat ke belakang dan tak melulu menyalahkan sopir.
 
“Sebab ini efek domino dari sistem transportasi yang memang buruk. Sebuah kecelakaan tak pernah berdiri tunggal dan sebaiknya para investigator jangan terlalu konsen dengan penyebabnya. Tapi efek dominonya,” kata Jusri ketika dihubungi VIVA.co.id, Minggu 6 Desember 2015.
 
Makanya dari itu, kata Jusri, harus ada revolusi sistem angkutan umum di Indonesia, dan Jakarta sudah seharusnya menjadi contoh pertama.
 
“Banyak kecelakaan angkutan umum terjadi bukan karena rendahnya kemampuan pengemudi menguasai kendaraanya,” ujar Jusri.
 
Akan tetapi, menurut Jusri, ada masalah lain di balik maraknya kecelakaan lalu lintas, seperti sopir yang digaji dengan sistem setoran. Sehingga pada akhirnya sopir melupakan berbagai hal, termasuk keselamatan untuk mengejar setoran.

Jusri juga mengungkapkan, perlu dilihat lagi ke belakang mengapa para pengusaha angkutan umum memilih mengupah dengan sistem setoran.

Pada akhirnya yang terlihat adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang asal-asalan membuat aturan. Selain itu, kata dia, Pemprov juga dituding tak melakukan pola pengawasan yang baik, serta sanksi tak tegas.
 
“Beginilah efek dominonya. Kalau kita mencari kecelakaan tadi salah siapa, maka selesai sudah, itu salah sopir. Tapi lihat ke belakang, banyak kesalahan lainnya yang membuat sopir mengemudi seperti itu,” ungkap Jusri.

Apabila sistem ini sudah dibenahi, kata Jusri, maka pemerintah bisa mulai membenahi etika dan perilaku sopir. Caranya dengan mewajibkan setiap sopir angkutan umum di Jakarta mengikuti sekolah mengemudi.
 
“Harus ada satu badan dikelola Departemen Perhubungan atau apapun yang menyelenggarakan pendidikan untuk sopir angkutan umum. Sampai saat ini itu belum ada,” tutur Jusri.

Nantinya di badan atau sekolah itulah, etika pengemudi sopir angkutan umum dibentuk. Sehingga pada akhirnya mereka jadi sopir yang tahu etika, tak sekedar jago mengemudi saja.
 
“Sebab banyak kecelakaan angkutan umum di jalan raya terjadi bukan karena skill mengemudi juga, tapi urusan etika dan pola pikir yang salah. Itulah gunanya sekolah, mempersiapkan sopir agar punya pola pikir yang benar,” kata Jusri. (ren)